Sunday 14 June 2015

Dalil Naqli dan Dalil Aqli

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya, atau di dalam menentukan bahwa sesuatu itu benar, dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita ingin menetapkan dasar pijakan suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita memerlukan adanya bukti-bukti, tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk yang sah dan akurat, sehingga kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat ditunjukan dan dibuktikan, dan sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was yang mungkin tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang kokoh di dalam mengerjakan suatu perkara tersebut.
Di dalam hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu Naqli dan 'aqli. Dimana kedua landasan tersebut merupakan pijakan yang dipakai oleh mereka, khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, serta ketika menafsirkan al-Qur'an.
Untuk itu, pemakalah akan mencoba membahas kedua landasan pokok tersebut agar kita selaku umat islam dapat mengetahui dan memahami naqli dan 'aqli, serta dapat mempergunakannya di dalam keber-agama-an kita sehari-hari, baik yang ada kaitannya dengan keimanan maupun amal perbuatan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan dalil Naqli dan dasar hukumnya?
2.      Apa yang dimaksud dengan dalil Aqli dan dasar hukumnya?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui tentang Dalil Naqli beserta dasar hukumnya.
2.      Untuk mengetahui tentang Dalil Aqli beserta dasar hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dalil Naqli
1.      Pengertian Dalil Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (نقل الشيء) yakni mengambil sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, dan (نَقَلَة الحديث) yakni mereka yang menuliskan hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi.[1]
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[2]

Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in[3], seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
a.       Al-Qur’an
1)      Pengertian
Al-Qur’an berasal dari bahasa arab yang secara etimologi adalah masdar dari kata qara’a setimbang dengan kata fa’lan dengan arti bacaan berbicara tentang apa yang tertulis padanya.
Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafadzkan dengan menggunakan alif lam berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengannya, sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 9:

¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ
Artinya : Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,(Al-Isra’)

Pertama, bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafadzkan oleh Nabi Muhammad dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
Kedua, bahwa Al-Qur’an itu adalah bahasa arab, yang mengandung arti bahwa Al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang diibaratkan dengan bahasa asing bukanlah Al-Qur’an.
Ketiga, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an.
Keempat, bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan secara mutawatir bukanlah disebut Al-Qur’an.
Disamping 4 unsur pokok disebutkan di atas terdapat pula beberapa unsur dalam sebagian definisi yang dikemukakan di atas sebagai unsur penjelasan tambahan terhadap keterangan yang disebutkan di atas.
Pertama, kata-kata mengandung mu’jizat setiap surat daripadanya memberikan penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur’an mengandung daya Mu’jizat.
Kedua, kata-kata beribadah membacanya memberikan penjelasan bahwa Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan di atas diakui telah melakukan suatu perbuatan ibadat yang berhak mendapat pahala.
Ketiga, kata-kata tertulis dalam mushaf sebagaimana yang terdapat dalam ta’rif Syaukani dan Sarkhisi, mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf walaupun itu wahyu diturunkan kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan tilawahnya tidak lagi disebut Al-Qur’an menurut artian diatas.[4]

2)      Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Walaupun Al-Qur’an itu bukan kitab hukum, melainkan mengandung dasar-dasar dan norma yang menjelaskan tentang hukum yang perlu dipahami dan dirumuskan dalam bahasa hukum oleh para ahlinya. Penjelasan Al-Qur’an tentang hukum secara sederhana dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk:
a)      Al-Qur’an memnerikan penjelasan secara sempurna dalam bentuk yang terperinci yang semua orang dapat memahaminya dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut oleh Nabi. Penjelasan itu diseput bayan kamil.
b)      Al-Qur’an memberikan penjelasan secara umum dan garis besar, sedangkan untuk penjelasan selanjutnya diserahkan Allah kepada Nabi, disebut bayan ijmail.
c)      Al-Qur’an menjelaskan hukum secara tidak langsung melalui isyaratnya. Isyarat ini kemudian dipahami oleh para ahliny atau mujtahid, dan merumuskan daripadanya hukum lain di luar yang secara langsung disebutkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Al-Qur’an dalam bentuk pertama menghasilkan penunjukan yang pasti terhadap hukum sehingga hukumnya disepakati oleh umat Islam, sedangkan penjelasan dalam bentuk kedua dan ketiga menghasilkan penunjukan yang tidak pasti sehingga mungkin timbul beda pendapat dalam memahami dan menetapkan hukumnya.

3)      Kekuatan Penunjukan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Ahli ushul fiqih sepakat menetapkan bahwa:
a)      Al-Qur’an dari segi keautentikannya datang dari Allah SWT adalah pasti dan tidak diragukan (qath’iy tsubut)
b)      Al-Qur’an dari segi penunjukannya terhadap hukum ada yang pasti (qath’iy dalalah), sehingga tidak mungkin timbul padanya pemahaman lain dan oleh karenanya tidak terdapat padanya beda pendapat.

4)      Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Ahli ushul fiqih sepakat mengatakan bahwa Al-Qur’an menduduki sumber dan dalil pertama hukum syara’ yang berarti dalam menetapkan hukum, pertama harus mencari jawabannya dalam Al-Qur’an, setelah tidak menemukannya dalam Al-Qur’an baru mencarinya dari sumber dan dalil lain di bawahnya. Dalam kedudukannya sebagai sumber utama, maka ia merupakan sumber dari segala sumber hukum oleh karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan melalui dalil dan sumber lain tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.

5)      Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terkandung ayat-ayat yang yang berbicara tentang hukum, yang secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga:
a)      Hukum-hukum yang berkenaan dengan apa-apa yang harus diyakini oleh umat Islam dan bagaimana cara melakukannya, disebut hukum i’tiqadiyah.
b)      Hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat dan akhlak yang baik yang harus dilakukan oleh manusia mukalaf, dan sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhi umat disebut hukum khuluqiyah.
c)      Hukum-hukum yang berkenaan dengan tindak tanduk dan amal perbuatan yang harus dilakukan atau dijauhi oleh umat dalam kehidupan dunia, baik dalam hubungannya dengan Allah Pencipta maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya disebut hukum syari’iyah.[5]







B.     Dalil Aqli
1.      Pengertian Dalil Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل): akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية): denda, (الحكمة): kebijakan, dan (حسن التصرف): tindakan yang baik atau tepat.[6]
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
a.       Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah.[7]
b.      Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
c.       Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya: "...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal".[8]
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt[9], sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan".[10]



a.      Qiyas
1)      Pengertian Qiyas
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).[11]

2)      Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:[12]
a)      Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
·         Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
·         Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
·         ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
·         Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
·         Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
·         Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
b)      Hukum al-Ashl
·         Tidak bersifat khusus
·         Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
·         Tidak ada nash
·         Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
c)      Far’u
o   ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
o   Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
o   Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
o   Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
d)     ‘Illat
o   ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
o   ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
o   ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
o   ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
o   ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
o   ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
o   ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
o   ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.



3)      Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi berikut.
Dari segi kekuatan penetapan hukum pada furu’ bila dibandingkan dengan kekuatannya pada ashal, qiyas dibagi tiga, yaitu:
a)      Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat daripada berlakunya hukum pada ashal, karena kekuatan ilat yang terdapat pada furu’.  
b)      Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama kuatnya dengan berlakunya pada ashal.
c)      Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ kurang kuat dibandingkan dengan berlakunya pada ashal, karena keadaan ilatnya lebih rendah dari yang terdapat pada ashal.[13]
4)      Sebab-sebab dilakukan Qiyas
Di antara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah:
a)      Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nas Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dikemukakan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’.
b)      Karena nas, baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak turun lagi.
c)      Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nas.[14]




b.      Ijtihad
1)      Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa, berasal dari kata al-jahd dan al-juhd, yang berarti al-tahaaqah (tenaga, kuasa, dan daya). Ijtihad secara istilah adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).[15]

2)      Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya:[16]
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (An-Nissa ayat: 105)

3)      Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.

a)      Syarat-syarat Umum
·         Baligh
·         Berakal sehat
·         Memahami masalah
·         Beriman
b)      Syarat-syarat Khusus
·         Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, mustarak, dan sebagainya.
·         Mengetahui sunnah-sunnah Nabi berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab wurud, dan dapat mengemukakan hadist-hadist dari berbagai kitab hadist, seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, dan lain-lain.
·         Mengetahui maksud dan rahasia hukum Islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
·         Mengetahui kaidah-kaidah kuliah, yaitu kaidah-kaidah fiqih yang diistimbatkan dari dalil-dalil syara’.
·         Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, saraf, dan balaghah dan sebagainya.
·         Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar’i dan cara-cara mengistimbatkan hukum.
·         Mengetahui ilmu mantiq.
·         Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah (semacam praduga tak bersalah, praduga mubah, dan sebagainya).
·         Mengetahui soal-soal ijma, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.

c)      Syarat-syarat Pelengkap
·         Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
·         Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
·         Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.[17]



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Naqli dan 'Aqli merupakan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, atau ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, atau ketika menafsirkan al-Qur'an.
Naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita olehnaqalah al-hadist dan perawi-perawi. Keidentikan ini selaras dengan kebutuhan ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil yang bisa memberantas dan mengikis segala keragu-raguan atau kepercayaan yang lemah, sehingga muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang kuat, tidak mudah goyah atau mendangkal.
Namun keidentikan ini tidak menutup bidang ilmu lain untuk berpegang kepada naqli, justru setiap kajian-kajian ilmu agama Islam tidak terlepas dari naqli, seperti dalam bidang fikih dan tafsir, dimana seorang fakih ketika ingin menetapkan hukum suatu perkara ia membutuhkan naqli, begitu juga mufassir ketika ingin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an ia memerlukan bantuan naqli, sehingga muncullah istilah tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2012)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999)
Malik Bin Anas, Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan, 2004, jil. 5
Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah
Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi
Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-Syamilah
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005)
Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1994)
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.
 




[1] Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-Syamilah, hal. 3.
[2] Malik Bin Anas, Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan, 2004, jil. 5, hal. 1323.
[3] Drs. Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah, hal. 5.
[4] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999), hal 23-26.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2012), hal 34-39
[6] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II, hal. 40.
[7] Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, op. cit., hal. 3.
[8] HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[9] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.
[10] QS. Al-Israa’: 70.
[11] H. Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.121-125
[12] H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 165.
[13] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2012), hal 55-56.
[14] Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1994), hal 172-173
[15] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal 172
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 101
[17] Ibid, Suparta, Fiqih, hal 165-167.

No comments:

Post a Comment