Wednesday 17 June 2015

Pengertian Syari'ah

A.    Pengertian Syari’ah
Secara bahasa, syari’ah artinya jalan lurus menuju mata air.[1] Mata air digambarkan sebagai sumber kehidupan. Syari’ah bearti jalan lurus menuju sumber kehidupan yang sebenarnya. Sumber hidup manusia yang sebenarnya adalah Allah. Untuk menuju Allah Ta’ala, harus menggunakan jalan yang dibuat oleh Allah tersebut (syari’ah). Syari’ah ini menjadi jalan lurus yang harus ditempuh seorang muslim.[2] Tidak ada jalan lain bagi orang muslim, kecuali menggunakan syari’ah Islam sebagai hukum yang mengatur hidupnya.
Allah berfirman dalam QS. Al-Jaatsiyah/45 ayat 18;

¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’ah dari urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Secara istilah, syari’ah adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala untuk mengatur manusia baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan dengan makhluk ciptaan lainnya. Syari’ah ini ditetapkan Allah Ta’ala untuk kaum muslimin, baik yang dimuat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul.[3]
Para fuqoha (ahli fikih) menjelaskan syari’ah untuk menunjukkan nama hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai hukum formal maupun hukum etika (akhlak).[4]
Menurut Hossein Nasr, Syari’ah atau hukum Ilahi Islam merupakan inti agama Islam sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai Muslim jika ia menerima legitimasi syari’ah sekalipun ia tidak mampu melaksanakan seluruh ajarannya.[5] Pendapat Nasr ini menekan bahwa yang terpenting adalah menerima syari’ah Islam, walaupun belum mampu melaksanakannya. Akan tetapi, jangan sekali-kali orang Islam merasa tidak mampu untuk melaksanakan tatanan kehidupan berdasarkan syari’ah. Karena syari’ah itu sendiri sebenarnya hukum-hukum Allah yang pasti manusia mampu melaksanakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat al-Baqoroh/2 ayat 286:





Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Berdasarkan ayat di atas, jelas semua yang dibebankan kepada manusia, ia sanggup untuk melaksanakannya. Hanya saja, seringkali akibat dari kemalasan sendiri sehingga merasa tidak mampu, kemudian meningalkannya. Allah Maha Tahu kadar kemampuan manusia dalam mengerjakan amalannya. Oleh karena itu, beramal baik akan dibalas pahala sedangkan beramal buruk dibalas siksa.
Allah adalah pembuat hukum yang tertinggi. Syari’ah Islam adalah penjelmaan konkrit kehendak Allah di tengah manusia hidup bermasyarakat. Syari’ah merupakan prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an dan prinsip al-Qur’an itu sendiri. Agar prinsip tersebut dapat diwujudkan dengan baik, tentu memerlukan contoh. Dalam hal ini, dibutuhkan contoh-contoh dari Nabi tersebut, manusia dapat memahami apa yang menjadi kehendak Allah Ta’ala itu. Oleh karena itu, Nabi dan Rasul patut dicontoh dalam melaksanakan syari’ah.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, kesempurnaan syari’ah Islam tampak dalam menembus kedalam berbagai problem dengan segenap penyelesaiannya, memandangnya dengan sebuah pandangan yang mencakup dan menyeluruh, berdasarkan pengetahuan tentang kondisi, hakikat, motivasi, dan keinginan jiwa manusia, berdasarkan pada situasi dan kondisi kehidupan manusia dan aneka ragam kebutuhan maupun gejolak jiwanya, serta berusaha untuk menghubungkannya dengan nilai-nilai agama dan akhlak.[6]
Apabila kita perhhatikan seluruh isi al-Qur’an, maka tampak jelas bahwa hukum-hukum yang ada didalamnya sarat dengan kondisi. Artinya tidak terpisahkan dari kenyataan hidup yang dihadapi manusia pada saat itu. Al-Qur’an tidak bersifat utopis (tidak berdiri di ruang kosong), akan tetapi benar-benar realities. Oleh karena itu, kita dapat melihat sisi fleksibelitas teknis pelaksanaan dari hukum tersebut.
Orang yang mengetahui hal ini dengan baik, maka ia akan mampu memahami posisi dan kehebatan syari’ah Islam dalam berbagai persoalan. Sebenarnya cacat manusia, karena hanya melihat salah satu aspek saja, mengabaikan aspek lainnya. Atau juga karena kaku memahami maqasid al-syar’i (tujuan hukum) tersebut.
Berikut ini, beberapa prinsip dasar syari’ah Islam yang bersifat kontekstual (waqi’iyyah), seperti:
1.      Syari’ah Islam memperhatikan fitrah manusia.
2.      Syari’ah Islam mengatur hukum dalam reallitas kehidupan dan kebutuhan manusia.
3.      Syari’ah Islam mempertimbangkan sisi darurat yang sewaktu-waktu terjadi pada manusia.
4.      Syari’ah Islam mendorong agar kebutuhan manusia disalurkan melalui jalan yang benar, Karena pada dasarnya manusia menyukai kebenaran.

Atas dasar kontekstualisasi tersebut, syari’ah Islam mengandungprinsip umum, yaitu:
1.      Memudahkan dan menghilangkan kesulitan.
2.      Memperhatikan tahapan waktu dalam pelaksanaannya.
3.      Memperhatikan realitas situasi dan kondisi.

Syari’ah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut dengan ‘ibadah, sedangkan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia atau alam lainnya disebut mu’amalah. Semua itu adalah hukum-hukum Allah Ta’ala untuk keselamatan hidup manusia. Syari’ah islam yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaanya di dunia dan akhirat.

B.     Perbedaan Syari’ah dan Fikih
Terkadang masih ada orang yang menyamakan syari’ah dengan fikih. Salah kaprahnya ketika menyebut kata syari’ah padahal yang dimaksud sebenarnya adalah fikih. Apalagi istilah syari’ah sekarang banyak dipakai dalam perbanka, seperti Bank Syari’ah. Hal ini tentu baik dan menunjukkan makin populernya istilah syari’ah. Akan tetapi, secara keilmuan perlu dipahami apa itu syari’ah dan apa itu fikih.
Kata syari’ah mempunyai makna hukum yang suci sepenuhnya, dan mengandung nilai-nilai uluhiyah, sedangkan fikih merupakan ilmu tentang syari’ah. Kata syari’ah mengingatkan kita kepada wahyu dan atau Sunnah Nabi, sedangkan fikih mengingatkan kita kepada ilmu hasil ijtihad.[7]
Tata kehidupan seorang muslim diatur muslim diatur dengan hukum-hukum syari’ah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum syari’ah tersebut dikodifikasikan secara lebih jelas, rinci dan operasional melalui ijtihad oleh para ulama. Hasil kodifikasi hukum syari’ah disebut fikih.
Fikih awalnya, bermakna pemahaman. Kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu fikih. Ilmu fikih ini diturunkan dan disusun dari syari’ah Islam.
Fikih Islam tak ubahnya bagaikan wujud material yang tumbuh dari sesuatu yang sudah ada. Fikih mencapai kesempurnaan tidak secara sekaligus, melainkan tumbuh secara bertahap dari sesuatu yang telah ada sebelumnya sampai mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan. Hal ini mencerminkan perkembangan ilmu manusia.
Bangsa Arab telah mengenal kata syari’ah jauh sebelum kata fikih. Kata syara’a dan turunannya disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman: “kemudian Kami Jadikan Kamu di atas Satu Syari’ah, maka Ikutilah Ia”. Pengertian syari’ah dalam ayat ini digunakan sebagai imbangan bagi syari’ah Nabi Musa dan syari’ah Nabi Isa. Dalam ayat tersebut kata syari’ah berarti agama secara umum. Sementara kata fikih dalam pengertiannya yang kita kenal sekarang ini baru dikenal dalam bahasa arab setelah (pasca) periode awal Islam.
Ibn Kaldun dalam Muqaddimah mengatakan:  “Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah mengenai perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf sebagai wajib, haram, sunat, makruh dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an, Sunah Nabi dan dalil-dalil yang ditetapkan oleh perbuatan hukum (syar’i) untuk mengetahuinya. Jika hukum-hukum tersebut digali dari dalil-dalil itu maka itulah yang dinamakan fikih. Pada awal Islam, menurut Ibn Kaldun bahwa orang-orang yang menggali hukum-hukum itu dikenal dengan nama qurra’ untuk membedakan dari orang-orang yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Kemudian wilayah kekuasaan Islam meluas dan hantaran mempelajari al-Qur’an, orang-orang arab tidak buta huruf. Hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan penggalian hukum. Akhirnya fikih menjadi sempurna dan menjadi suatu keahlian serta disiplin ilmu tersendiri, dan nama qurra’ (para pembaca) diganti dengan fuqoha.[8]
Jadi fikih berisi peraturan-peraturan pelaksanaan yang member pegangan dan pedoman dalam berperilaku. Hukum syari’ah yang telah dikoifikasi secara luas yang berkaitan dengan aspek ibadah dalam bentuk fikih ibadah. Sedangkan yang berkaitan dengan aspek social kemasyarakatan dikodifikasi dalam bentuk fikih mu’amalah.
Kitab-kitab fikih itu telah disusun oleh banyak ulama menurut metode masing-masing. Tetapi ada empat pakar fikih yang diikuti kebanyakan kalangan Sunni hingga sekarang, yaitu:
1.      Fikih Hanafi, disusun oleh Abu Hanafiah.
2.      Fikih Maliki, disusun oleh Imam Maliki bin Anas.]
3.      Fikih Syafi’I, disusun oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
4.      Fikih Hambali, disusun oleh Imam Ahmad bin Hambali.

Penyusunan Fikih yang empat di atas sudah selesai dalam dua Abad pertama sesudah Rasulullah. Berkaitan dengan ilmu fikih sebagai basil ijtihad, para Imam Mazdhab menganjurkan para generasi selanjutnya jangan bertaklid buta. Artinya harus terus mengembangkan ijtihad untuk melahirkan ilmu fikih baru.
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata:
“Tidak boleh bagi seseorang berkata dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui dari mana kami ambil perkataaan kami itu.”
Imam Malik berkata:
“Aka ini hanya seorang manusia mungkin salah dan mungkin benar, oleh sebab itu periksalah pendapatku itu. Semua yang sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah ambilah ia dan segala yang tidak sesuai tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i berkata:
“Apa yang telah aku katakan, padahal Nabi telah berkata barlainan dengan perkataan itu, maka apa yang lsahih diterima dari Nabi itulah yang lebih patut kamu turuti dan jangan kamu bertaklid kepadaku”.
Imam Ahmad berkata:
“jangan kamu bertalid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i dan Ats-Tsaury, dan ambilah hukum itu dari tempat mereka mengambil“.

Dalam fikih khususnya terhadap masalah furu’iyyah, (masalah cabang) banyak terjadi perbedaan pendapat atau ikhtilaf. Ikhtilaf di antara umat sebenarnya dapat menjadi rahmat, karena dengan ikhtilaf itu semua orang dapat saling memberikan nasehat tentang kebenaran dan kesabaran. Akan tetapi, akibat kejahilan manusia, perbedaan pendapat itu sering mengarah pada perpecahan. Seperti umat Islam sekarang terkesan berpecah belah akibat perbedaan fikih yang dipakai. Padahal itu masalah kecil (cabang) jika dilihat dari kebesaran Allah dan keluasan Syari’ah Islam.
Saat ini di dunia Islam, seluruh Afrika Utara dan Afrika Barat mengikuti madzhab Maliki yang paling dekat dengan Madinah. Sejumlah orang di Suriah dan Arab Saudi mengikuti madzhab Hambali yang paling ketat mentaati A1-Qur’an dan Sunnah. Madzhab Syafi’i diikuti oleh sebagian besar warga Mesir dan mayoritas masyarakat Asia Tenggara, yakni Indonesia dan Malaysia. Madzhab Hanafi sebagai madzhab terkemuka pada masa Utsmaniyah, dianut oleh Bangsa Turki dan anak benua India. Madzhab Ja’fari, satu-satunya madzhab Syi’ah, berkembang di -Iran, Irak dan Lebanon.”[9]

C.    Kandungan Syari’ah
Syari’ah biasanya dibagi menjadi subjek yang berhubungan dengan ibadah yang disebut ibadat dan yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang disebut mu’amalat. Dengan menganalisis subjek-subjek tersebut, kita dapat melihat bahwa syari’ah bukan hanya mcncakup kehidupan beragama secara pribadi tetapi juga menyentuh aktivitas manusia secara kolektjf seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, kedokteran, pendidikan, teknologi dan lain-lain.
Syari’ah dalam aspek pertama yaitu ibadah merupakan perbuatan paling inti dalam Islam, yaitu shalat, zakat, puasa, dan hajji. Seluruh madzhab fikih memaparkan sccara rinci ajaran yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut. Aspek ibadah ini menyangkut kondisi internal dan eksternal agar tetap terlaksana dalam keadaan apapun, tetapi tidak menjadikan sebagai beban. Karena yang utama dari aspek ibadah adalah kebutuhan manusia itu sendiri yang dapat diterima oleh Allah sebagai amal kebaikan.
Syari’ah dalam aspek kedua yaitu mu’amalah merupakan aplikasi dari ibadah dalam hidup bermasyarakat. Buah dari ibadah adalah tercermin dalam bermu’amalah. Syari’ah dalam bidang mu’amalah ini jauh lebih luas kajiannya, karena meliputi seluruh aktivitas manusia. Dengan demikian, tidak mungkin menolak syari’ah bagi seorang muslim yang menerima Islam sebagai agama.
Jadi dalam aspek ibadah, hal pokok yang diwajibkan itu termuat dalam rukun lslam, yaitu shalat, zakat, puasa dan hajji. Kewajiban ini menduduki posisi yang paling tinggi dalam al-Qur’an. Shalat merupakan kewajiban pertama yang, diperintahkan kepada Nabi. Banyak alasan mengapa shalat begitu penting. Shalat merupakan langkah permulaan dalam mencapai kemajuan rohani. Bahkan shalat disebut mi’raj, kenaikan rohani yang paling tinggi. Shalat menjauhkan manusia dari kejahatan, sehingga memungkinkan dapat mencapai kesempurnaan.
Shalat membantu mewujudkan sifat ketuhanan dalam batin. Terwujudnya sifat ketuhanan bukan saja mendorong manusia untuk berbuat tanpa pamrih kepada sesamanya, melainkan pula memungkinkan manusia mencapai derajat rohani dan akhlak yang paling sempurna. Shalat menghilangkan perbedaan pangkat, warna kulit, dan kebangsaan, bahkan jauh dari itu alat menggalang persatuan. Hal ini menjadi landasan untuk menghayati kemajuan peradaban manusia.
Jika kita telaah ayat permulaan al-Qur’an, shalat dapat memperkembangkan diri sendiri. Orang yang beriman, mendirikan shalat, dan menjalankan zakat berada pada jalan yang benar, mereka adalah orang-orang yang mufflihun. Perhatikan QS. Al-Baqarah/2 ayat 3-5:
Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ   Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ   x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
Artinya : 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5]. 5. hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].(Al-Baqoroh ayat 3-5)

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’aan) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Kata mufflihun berakar dari falaha artinya sukses dan tercapainya sesuatu yang diinginkan secara sempurna. Falah itu ada dua macam, pertama bertalian dengan kehidupan dunia, dan kedua berkaitan dengan kehidupan akhirat; Yang pertama berarti tercapainya hal-hal yang baik yang membuat kehidupan dunia. Manifestasinya serba kecukupan dan terhormat. Yang kedua berarti tercapainya kehormatan yang tidak pernah mengenal kehinaan.
Kedudukan shalat dalam perkembangan batin manusia begitu penting, hingga pada tiap-tiap adzan dan iqamah, seruan hayyaalal shalah (mari menjalankan shalat) selalu disusul dengan seruan hayya ‘alal falah (mari menuju falah kemenangan). Ini menunjukkan bahwa perkembangan diri itu dicapai dengan melalui shalat.
Dalam ayat lain, sungguh beruntung (aflaha) kaum mukmin yang ,khusyu dalam shalatnya. Perhatikan QS. al- Mukminun/23 ayat 1-2 :
üNm ÇÊÈ   ã@ƒÍ\s? É=»tGÅ3ø9$# z`ÏB «!$# ̓Íyèø9$# ÉOŠÎ=yèø9$# ÇËÈ  

Artinya : 1. Haa Miim. 2. diturunkan kitab ini (Al Quran) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui,(Al-Mu’minun).

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.

lman kepada Allah adalah asas pokok tiap-tiap agama. Tetapi, tujuan agama bukan sekedar mengajarkan adanya Allah secara teori, melainkan lebih dari itu untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah adalah daya kekuatan bagi kehidupan manusia. Sarana untuk mencapai tujuan besar tersebut adalah shalat. Wujudkan daya kekuatan dalam batin melalui shalat. Mohonlah pertolongan dengan jalan sabar dan shalat; sesungguhnya ini adalah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, yaitu orang yang tahu bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah/2 ayat 45-46).
Perkembangan daya kemampuan manusia itu tergantung kepada sucinya batin manusia. Sungguh beruntung orang yang menyucikan hatinya. Shalat sebagai sarana pokok dalam menyucikan hati. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar  (AI-Ankabut/29 ayat 45). Perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk (QS.Hud/11 ayat 14).
Shalat dapat dijalankan dengan sendirian atau berjama’ah. Shalat bisa dijalankan sendirian bermakna memperkembangkan ruhani pribadi. Tetapi yang dijalankan dengan jama’ah memiliki makna shalat mengandung tujuan persatuan umat. Dalam shalat hilanglah perbedaan-perbedaan teknis Seperti jabatan, suku,
kaya-miskin, cantik-biasa, penguasa-rakyat, dan seterusnya. Semuanya berdampingan karena yang membedakan sesungguhnya adalah ketaqwaan. Bagi mereka yang mampu berdampingan bersama akan merasakan kebahagiaan.
Bahasa yang dipakai dalam shalat yaitu bahasa al-Qur’an dan bahasa Arab. Ada orang yang paham artinya dan ada juga yang tidak. Tetapi, perlu kita sadari bahwa dalam shalat itu memuat komunikasi kitadengan Allah. Sudah sewajarnya kalau kita akan mrncurahkan isi hati di hadapan Allah dengan bahasa yang dimengerti. Dalam shalat diberi keleluasaan untuk membuka isi hati.
Seandainya ada orang yang tidak mengerti akan arti kalimat yang dibacakan waktu shalat, namun ia Sadar bahwa ia srdang shalat, ruku dan sujud, maka drngan gerakan itu pun sudah termasuk komunikasi ia dengan Allah. Artinya, ada yang menggunakan dengan bahasa verbal, dan ada juga yang menggunakan bahwa tubuh atau isyarat. Namun yang lebih baik adalah mereka yang mengerti seluruh bacaan shalat. Ini sudah diatur dalam Islam.

D.    Fungsi Syari’ah
Tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan landasan tatanan berdirinya suatu bangsa. Akan tetapi hukum jika tidak dipikirkan-implementasinya, hanya akan melahirkan kebekuan. Dalam hukum perlu memecahkan masalah-masalah zaman yang terus ada dan berganti-ganti dari waktu ke waktu. Hal ini perlu dipikirkan dan dikerjakan sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Hukum-hukum Allah jauh lebih efektif untuk mencegah segala bentuk kejahatan yang merajalela. Di samping itu, bukan hanya mcncegah kejahatan melainkan mengarahkan pada kebaikan.
Berikut ini beberapa fungsi syari’ah, yaitu:
1.      Menghantarkan manusia sebagai hamba Allah yang mukhlis
Syari’ah adalah aturan-aturan Allah yang berisi perintah Allah untuk ditaati dan dilaksanakan, serta aturan-aturan tentang larangan Allah untuk dijauhi dam dihindarkan. Ketaatan terhadap aturan menunjukkan ketundukan manusia terhadap Allah dan penghambaan manusia kepada-Nya. Tanpa melaksanakan syari’ah, maka manusia tidak akan sampai pada posisi sebagai hamba Allah yang baik dan benar.
2.      Menghantarkan manusia sebagai khalifah Allah
Manusia sebagai wakil Allah harus mengikuti hukum Allah yang diwakilinya. Kalau melampaui batas bukan lagi wakil. Maka dari itu, syari’ah Islam memberikan batasan yang jelas dari kebebasan yang dimillki manusia. Dengan demikian, kekhalifahan manusia diatur dalam tatanan pencapaian kesejahteraan lahir-batin manusia dan terhindar dari kesesatan Sejalan dengan kehendak Allah.
3.      Menunjukkan kebahagiaan dunia dan akhirat
Syari’ah Islam mengarahkan manusia pada jalan yang lurus menuju sumber kebenaran. Dengan syari'ah Islam, manusia dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki. Dengan syari’ah, manusia dapat memilah dan memilih jalan yang akan ditempuhnya sesuai dengan daya kemampuan sehingga apapun akan dipertanggung jawabkannya sendiri di hadapan Allah Ta’ala.

E.     Syari’ah Islam Dari Masa Ke Masa
Allah pada mulanya menurunkan berbagai syari’ah kepada nabi-nabi dengan memperhatikan keadaan berbagai ummat dan zamannya. Tatkala semua itu telah selesai ditangani oleh nabi-nabi terdahulu, datanglah di akhir mereka penghulu dam penutup dengan membawa undang-undang yang menyeluruh sampai pada hari kiamat.
Masyarakat Islam pada zaman terdahulu hidup dengan kehadiran realitas yang menyelami Al-Qur’an dan perilaku Nabi yang dicontohkan, baik Oleh para sahabat atau generasi pertama sesudah mereka.
Pada periode awal generasi shahabat belum ada kodifikasi madzhab fikih. Berbagai interpretasi syari’ah dan syari’ah itu sendiri belum dikodifikasikan dan dirumuskan dalam kitab-kitab fikih, tetapi realitasnya benar-benar telah terwujud. Misalnya, cara masyarakat bertingkah laku sudah diatur demikian rupa.
Secara alamiah masyarakat Arab dahulu telah mengenal hukum-hukum yang mengatur kehidupan dan hubungan kemasyarakatan mereka. Akan tetapi, hukum-hukum itu tidak ditetapkan oleh suatu kekuasaan legislatif seperti yang terjadi sesudah ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah Nabi, tetapi merupakan tradisi dan adat istiadat yang sebagian besarnya diambil dari negara-negara tetangga yang mempunyai hubungan dengan mereka. Misalnya, Syiria yang menerapkan hukum Romawi sedangkan Irak mempraktekkan hukum Persia. Bangsa Arab, mengambil dari Yastrib yang kemudian dikenal dengan Madinah tempat tinggal masyarakat Yahudi yang menganut hukum-hukum dari syari’ah Nabi Musa a.s.
Selanjutnya dari sejarah bangsa-bangsa, kita mengetahui bahwa setiap masyarakat betapapun tingkat kebudayaan dan intelektualnya, mempunyai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan transaksi-transaksi financial, mengatur masalah-masalah perseorangan dalam membangun keluarga seperti perkawinan dan lain-lain, mengatur tindak pidana kejahatan dengan menetapkan hukuman yang dapat membuat jera pelakunya dan yang mengatur masalah-masalah kehidupan yang lain.
Masyarakat Arab di semenanjung Arabia, tidak dikecualikan dari kenyataan di atas yang menjadi landasan kehidupan pribadi, bangsa, masyarakat dan kebudayaan manusia.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa bangsa Arab di zaman Jahiliyah mengenal banyak hukum yang menjadi landasan masyarakat mereka yang meliputi berbagai bidang, yang pada saat berikutnya ada yang direvisi Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw. Rasulullah menenetapkan berlakunya tidak sedikit dari hukum mereka itu yang telah mengkristal menjadi tradisi yang mereka anut. Islam tidak mengganti semua tradisi bangsa Arab secara radikal. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa Islam datang pada satu masyarakat yang telah memiliki tradisi dan hukum-hukum.
Masyarakat Arab mengenal banyak macam transaksi seperti jual-beli, gadai, dan sewa menyewa. Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, Islam menetapkan tidak scdikit macam transaksi itu yang dipandang baik untuk dilestarikan dan seraya membuang yang tidak baik.Ukuran tidak baik itu adalah dampak dari hukum tersebut pada kepentingan bersama dan kemaslahatan ummat secara keseluruhan dengan tidak memihak pada orang kaya maupun yang miskin.
Misalnya, riba adalah salah satu transaksi yang dilarang dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul karena mengandung unsur mengambil harta orang lain dengan jalan bathil. Begitu pula Islam melarang beberapa hubungan jual-beli yang
menyebabkan penipuan dan persengketaan.
Masyarakat Arab juga telah mengenal sewa menyewa dan bagi hasil (mudbarabab). Akad-akad ini dilestarikan oleh Islam karena dampaknya positif dan dibutuhkan dalam kehidupan praktis. Kemudian fikih di masa-masa berikutnya membuat kaidah, syarat dan batas-batasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga secara bersama-sama kemaslahatan kedua belah pihak yang mengadakan transaksi dalam batas-batas yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya.
Perkembangan selanjutnya, muncul peluang makin besar terjadinya interpretasi yang beragam terhadap hukum Allah. Kosekeunsinya perlu mendasarkan pada sumber pokok kembar Al-Qur’an dan As-Sunnah yang secara berangsur-angsur para fuqaba (ahli hukum) mulai menggali metode pengumpulan
prinsip-prinsip tertentu melalui ijtihad seperti yang dikenal dalam madzhab fikih.
Jadi, sejak dahulu umat manusia membutuhkan syari’ah. Tanpa syari’ah, kehidupan manusia akan kacau karena jika sepenuhnya hukum diserahkan pada kebebasan akal manusia akan terjadi inkonsistensi (kerancuan), karena hasil akal yang satu dengan lainnya bisa berbeda secara tajam. Akan tetapi dengan panduan syari’ah itu manusia dapat menemukan titik temu persamaannya. Berdasarkan hal itu, hingga sekarang dan akan datang jelas kebutuhan manusia terhadap syari’at Islam untuk mengatur pola hidup dan kehidupan yang harmonis dalam segala bidang (shalat, zakat, puasa, hajji, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan lain-lain) dan diridhai Allah Ta’ala. Hal ini dijelaskan dalam syari’ah Islam.





[1] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm.5
[2] Azyumardi Azra, dkk, Buku Teks: Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Depag RI, Jakarta, 2002, halm.167
[3] Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komperhensif, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm.131
[4] M.Ali Hasan, Op.Cit.,
[5] Syeed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 56
[6] Yusuf  Al-Qardhawi, Karakteristik Islam: Kajian Analitik, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 137
[7] Lihat A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar, Orba Sakti, Bandung, 1993, hlm.25
[8] Lihat M.Ali Hasan, Op.Cit., hlm.43-44
[9] Seyyed Hoesin Nasr, Op.Cit., hlm. 58

No comments:

Post a Comment