Saturday 13 June 2015

sadd adz-dzari’ah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
Wahbah az-Zuhaili membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dari wahab az-Zuhaili?
2.      Bagaimana pendapat Tentang Wahab az-Zuhaili?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui tentang wahab Az-Zuhaili.
2.      Mengetahui pendapat para Ulama Tentang Wahab Az-Zuuhaili.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Al – Dzari’h
Pengertian dzari’ah  ditijau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariáh dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainya, diantarany Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariaáh itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan.[1] Pengakuan terhadap dzariáh  pada dasarnya adalah dengan memandang kepada akhir perbuatan, lalu terhadap perbuatan itulah ditetepkan hukum yang sejalan dengan hasiln ya, baik hasil itu dimaksudkan atau tidak. Jika perbuatan itu membawa hasil yang dituntut, mkaperbuatan itu termasuk dituntut, sabaiknya jika membawa kepada yang buruk  maka perbuatan itu dilarang tanpa peduli kepada niat pelakunya tetapi pandangan diarahkan pada hasil dari perbuatanya.
Dzariáh  ini merupakan salah satu dasar yang disebutkan oleh kitabkitab Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan kitab-kitab Mazhab lain tidak menyebutkan dengan judul ini, akan tetapi apa yang dicangkup oleh pengertian  Dzari’ah ditetapkan pula dalam Fiqih Hanafi dan Syafi’y dengan perbedaan dan persamaan dalam beberapa bagiannya.[2]

B.     Pengetrian Saddu Al-Dzari’ah
Saddu Artinya, Menutup, Menghalangi. Dzara’i atau Dzari’ah artinya, bahaya-bahaya. Saddu Dzari’ah berarti menutup jalan.[3]
Saddu dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah:

“suatu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara yang terlarang (haram ).”

Sebagai contoh misalnya, masalah bertemanan atau bersahabat dengan orang-orang jahat. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama , orang-orang jahat tersebut akan menjadi baik karena bersahabatan dengan kita, tetapi kedua  sebaliknya mungkin pula terjadi bahwa kita akan menjadi orang jahat akibat persahabatn itu, sedangkan masalah bersahabat adalah mubah hukumnya.
Sesuatu yang menyebabkan jatuh atau terbawa kepada yang terlarang, dilihat dari segi bemntuknya dapat dibagi menjadi tiga:
1.         Sesutu yang jika dilakukan, biasanya akan terbawa kepada yang terlarang.
2.         Sesuatu yang jika dilakukan tidak terbawa pada yang terlarang.
3.         Sesuatu perbuatan yang jika dilakukan menurut pertimbangan adalah sama kemungkinanya untuk terbawa pada yang terlarang dan pada yang tidak terlarang.
Alasan para ulama membolehkan berdalil dengan Saddu Dzariáh antara lain adalah hadis Nabi yang berbunyi:

“Ketauhilah jurang Allah itu adalah kemaksiatan kepadanya, maka barang siapa yang bermain-main disekeliling jurang itu dikhawatirkan akan jatuh kedalamnya.” (HR. Muttafaqun Alaih)
Dan hadis Nabi yang berbunyi:

“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi)

Ulama terkenal yang memakai “Saddu Adzari’ah dikalangan Ushul Fiqih adalah Malik bin  Annas yang dikenal dengan sebutan Imam Malik.[4]

C.    Macam-Macam Saddu Al-Dzari’ah
Para ulama membagi Dzari’ah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
1.         Dzaria’h dari segi kualitas kemafsadatan 
Menurut imam Asy-Syatibi, dari segi ini Dzariáh terbagi menjadi empat macam:
a.    Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman tersebut karena melakukan dengan sengaja.
b.    Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menjual makanan biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c.    Perbuatan yang dilakukan keungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan unruk membunuh.
d.   Perbuatan yang pada dasranya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi kemungkinan akan terjadi kemafsadatan, sepertin baiy al-ajal (jual beli dengan harga lebih tinggi dari harga asaln karenatidak kontan). Contohnya: A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian amenjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai, sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif, semantara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit kendaraan tersebut, meskipun kendaraannya telah menjadi miliknya kembali. Jual beli ini cendrung pada riba.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang atau dibolehkan. Karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad)  tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk Dzari’ah tersebut dibolehkan.
Ada tiga alasan dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:
a.    Dalam baiy’ al-ajal perlu diperhatikan tujuanya atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya terbatas praduga yang berat (galabah azhzhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah:

Artinya:
“Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
b.    Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena adanya syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemmadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c.    Dalam nash  banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seseorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang berpergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-mata, tetapi rasulullah SAW. melarangnya, ksrena perbuatan itu banyak membawa kemafsadatan.
2.        Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut ilmu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
a.    Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b.    Suatu perbuatan yang pada dasarnya yang dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan  yang haram, baik disengaja maupun tida, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali pada suaminya yang pertama (Nikah attahlil).
Menurut Ibnu Qayyim kedua bagian diatas terbagi lagi dalam:
1. kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya
2. kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian inipun menurutnya terbagi lagi menjadi empat:
a.    Sengaja melakukan perbuatanya yang nafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang oleh syara’.
b.   Perbutan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tida, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali pada suaminya yang pertama (Nikah attahlil).
c.    Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya bertujuan tidak untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah.
d.   Suatu pekerjaan yang pada dsarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatanya lebih besar, maka hu[5]kumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.

D.    kedudukan Saddu Al-Adzari’ah
Di kalangan ulama ushul  terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujahan saddu al-dzariáh sebagai dalil syara’. Berpegangan kepada dzari’ah dan memberinya hukum yang sama dengan hukum yang dihasilkannya, didasarkan pada baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
1)        Di dalam Al Qur’an terdapat larangan memaki berhala dengan firman Allah :
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ  
Artinya:
dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. (QS. Al-An’Am:108)


Artinya:
“Hai orang beriman janganlah kamu katakan: “Raa’inaa”, tetapi katakanlah : “perhatikanlah dan dengarlah”.”
Larangan tersebut disebabkan oleh yahudi menggunakan kata-kata “Raa’inaa” itu untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkan untuk menutup peluang (sadduzzari’ah) dari makian mereka terhadap Nabi.
2)        Dalam sunnah Rasulullah SAW. banyak sekali datang hadist beliau, diantaranya:
a)        Nabi menahan untuk tidak membunuh orang munafiq sementara mereka terus mengumbar fitnah dikalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan Dzari’ah jika mereka dibunuh akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. membunuh sahabatnya.
b)        Bahwa Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang yang berutang kepadanya untuk mencegah terjadinya riba.
c)        Nabi melarang orang yang memberi sedekah untuk membeli apa yang disedekahkan, karena dzari’ah dari terikatnya kaum faqir mengembalikannya dengan harga yang buruk/murah dari pasaran.
Ulama Hanafiyah,Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima saddu al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu seja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerima apabila dalam keadaan uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantikanya dengan shalat dzuhur. Namun shalatshalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam , agar tidak ditduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar ushul fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, ulama hanafiyah dan Syafi’iyah menerima saddu al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul: Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu dan dari segi dampaknya (akibat).[6]

E.     Saddu Al-Dzari’ah sebagai Sumber Hukum
Para ulama berpendapat mengenai kedudukan saddu al-dzari’ah sebagai sumber hukum.
1.        Menurut Imam Malik bahwa saddu al-dzari’ah dapat dijadikan sebagai sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dialarang oleh Allah.
Al-qurtubi, seorang ulama madzhab Maliki menyatakan: “sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk saddu dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan kemaksiatan harus ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk saddu al-dzari’ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilaarng oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
2.        Menurut Imam Abu Hanafiahdan Imam Syafi’i, bahwa saddau al-dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah tetap diperlakukan sebagai mubah , dalam sebuah hadist Nabi SAW. mengatakan:
Artinya:
“Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada yang tidak meragukan”.
Artinya:
“bagi siapa yang berputar-putar disekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut”.[7]
          Secara global, sikap pandang para ulamaterhadap posisi saddu al-dzari’ahdapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu penerima (pro) dan kubu penolak (kontra).
Adapun kubu penerima (pro) mengemukakan pendapat argumentasi sebagai berikut.
a.       Dalam sunnah al-baqarah (2): 104 dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata “Ra’ina” (suatu ucapan yang biasa digunakan orang yahudi untuk mencela/mengejek Nabi).
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 šúï̍Ïÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÉÍÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih(Al-Baqoroh Ayat 104).
Larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan membawa kepada mafsadah, yakni tindakan mencela/mengejek Nabi. Pesan ayat ini mengisyaratkan urgensi saddu al-dzari’ah.
b.      Dalam surah Al-A’raf (7): 163 dinyatakan bahwa kaum bani israil dilarang mendekati dan mengambil ikan-ikan yang terapung di permukaan air laut pada hari sabtu-hari khusus beribadah bagi mereka-.
öNßgù=t«óur Ç`tã Ïptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# ôMtR$Ÿ2 nouŽÅÑ%tn ̍óst7ø9$# øŒÎ) šcrß÷ètƒ Îû ÏMö6¡¡9$# øŒÎ) óOÎgŠÏ?ù's? öNßgçR$tFÏm tPöqtƒ öNÎgÏFö;y $Yã§ä© tPöqtƒur Ÿw šcqçFÎ6ó¡o   Ÿw óOÎgÏ?ù's? 4 y7Ï9ºxŸ2 Nèdqè=ö6tR $yJÎ/ (#qçR%x. tbqà)Ý¡øÿtƒ ÇÊÏÌÈ  
Artinya: dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik. (Al-A’raf ayat 163).
Larangan itu didasarkan atas kenyakinan bahwa perbuatan mendekati dan mengambil ikan-ikan tersebut akan membawa kemafsadah, yakni meningalkan kewajiban beribadah pada hari khusus ibadah mereka.
c.       Hadist Nabi:
“beralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan.” (HR. Al-Nasaí, al-Turmudzi, dan al-Hakim).[8]
d.      Sejumlah larangan mengisyaratkan urgensi Sadd Al-Zariah bagi penetapan hukum, antara lain:
1)      Larangan melamar perempuan yang sedang ‘iddah karena perbuatan melamar demikian akan membawa kepada masfsadah.
2)      Larangan jual beli secara tuanai dan tempo dalam satu akad karena perbuatan jual beli demikian akan membawa kepada mafsadah yakni transaksi ribawi. Yang dibolehkan ialah jual beli secara tunai dilakukan tersendiri/terpisah dari jual beli secara tempo (dua akad yang terpisah)
3)      Larangan terhadap kreditur menerima hadiah dari debitur, ketika debitur meminta penundaan pembayaran utang (rescheduling) karena penerimaan hadiah tersebut akan membawa kepada mufsadah yakni transaksi ribawi.
4)      Penetapan tindakan pembunuhan ahli waris terhadap pewaris sebagai hal yang menghalangi hak kewarisan ahli waris tersebut, agar tindakan pembunuhan tersebut tidak dijadikan jalan untuk mempercepat perolehan warisan.
5)      Pidana qisas bagi pelaku kolektif pembunuhan terhadap satu orang korban; masalah ini sudah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi. Hal ini dimaksudkan agar pembunuhan yang demikian tidak dijadikan model kejahatan demi menghindari pidana qisas.
6)      Larangan terhadap kaum muslim – ketika masih di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah – membaca Alqur’an dengan suara nyaring. Larangan ini didasarkan atas pertimbangan agar kaum kafir Quraisy tidak mencela atau mengejek Alqur’an., Allah (yang menurunkan Alqur’an ), dan Nabi (yang menerima Alqur’an)
Kubu penolak (kontra) mengemukakan argumentasi sebagai berikut.
a.       Aplikasi Saad al-dzari’ah  sebagai dalil penetapan hukum ijtihady,merupakan bentuk ijtihad bi al-ra’yi yang tercela.
b.      Penetapan hukum kehalaln atau keharaman suatu harus didasarkan atas dalil qat’iy  tidak bias dengan dalil dzani; sedangkan penetapan hukum atas dasar saad adzarah merupakan bentuk hukum berdasarkan dalail dzani.[9]





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Saddu Al-Dzari’ah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah saddu al-zari’ah menarik perhatian para ulama’ contoh: Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan. dan Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Juga terdapat dalam hadis nabi Muhammad S.A.W. contohnya yaitu Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya dan Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Husen, Fiqih, (Seragen: Akik Pustaka, 2008)
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011)
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Sukimah Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika)
Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 2003)
Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 2003)






[1] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h.134
[2] Sukimah Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), h. 164-167
[3] Ahmad Husen, Fiqih, (Seragen: Akik Pustaka, 2008), h. 49
[4] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 165-167
[5] Ibid, h. 133-135
[6] Ibid, h. 165
[7] Suparta, Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 2003), h. 138-139
[8] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 144-146
[9] Ibid, h.145-146

No comments:

Post a Comment