Sunday 15 October 2017

Dasar Hukum Tentang Pengupahan



Dasar Hukum Tentang Upah Buruh
Dasar hukum tentang upah buruh telah ada dan ditetapkan dalam Undang-undang sebagai berikut:
·         Pasal 5 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
·         Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 menangani pengupahan bagi buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainnya (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 171).
·         Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912).
Presiden Republik Indonesia memutuskan dan menetapkan: Peraturan Pemerintahan Tentang Perlindungan Upah No. 8 Tahun 1981. Kemudian diatur kembali pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.04/MEN1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.[1]
Sementara peraturan khusus tentang Upah Minimum sendiri sebagai aturan pelaksanaan dari UU tersebut belum dikeluarkan. Tetapi mengacu kepada peraturan Menteri sebelumnya No. 226/2000 tentang Upah Minimum dijelaskan bahwa upah minimum dapat ditetapkan baik ditingkat Provinsi (UMP) dan berdasarkanmasukan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (UMKab/Kota). Biasanya Gubernur menetapkan upah minimum ini setiap tahunnya melalui Surat Keputusan Gubernur.
Tingkat provinsi (di Indonesia sebagai pengganti wilayah adalah provinsi) berdasarkan Pasal 89 UU 13/2003, setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah Minimum mereka sendiri baik di tingkat Provinsi dan tingkat kabupaten/Kota Madya. Upah Minimum sektoral Provinsi ditetapkan dibeberapa provinsi atas dasar kesepakatan antara organisasi pengusaha dan organisasi sektoral pekerja. Upah minimum sektoral ditingkat provinsi dan Kabupaten/Kota Madya adalah hasil perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja dan ditetapkan oleh Gubernur.[2]
Sesuai pada prinsipnya, hanya satu jenis ketentuan upah minimum yang berlaku bagi seseorang pekerja dan hal itu tergantung dari jenis sektor dan Kabupaten/Kota Madya dimana mereka bekerja. Sebagai contoh, jika mereka seorang bekerja dalam suatu Kabupaten/Kota di suatu provinsi, tetapi di Kabupaten/Kota tersebut belum menetapkan UMK maka yang berlaku padanya adalahUMP. Jika seandainya sudah ada di Kabupaten/Kota Madya dimana mereka bekerja, maka upah minimum yang berlaku adalah UMK.


[1]Undang-undang Penetapan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, (Bandung: Fokus Media, 2011), h. 67
[2]Undang-undang Ketenagakerjaan 2003, h. 37

Bentuk Upah

Bentuk Upah
Adapun upah itu ada dua macam menurut Imam Syafi’i :
Menurut pandangan Imam asy-Syafi’i upah ada dua yaitu: upah Misli dan upah Musamma. Adapun upah Misli yaitu upah yang diberikan kepada buruh dengan upah umumnya. Dan upah Musamma yaitu upah yang diberikan kepada buruh dengan kesepakatan kedua belah pihak. Bagi kaum buruh atau karyawan tentunya upah merupakan sesuatu yang penting, sehingga perlu untuk menetapkan bagaimana bentuk upah yang akan diberikan kepada buruh. Sebab apakah arti jumlah upah yang terlalu besar, jika dengan itu ia tidak dapat membeli barang-barang keperluan hidupnya sendiri dan keluarganya.[1]


[1] Ifdlolul Maghfur, Sistem Upah Menurut Ulama Fiqih (Syafi’iyah) dalam Kitab Al-Umm(Teori dan Praktek Sistem Upah), SISTEM UPAH MENURUT ULAMA FIQIH SYAFIYAH DALAM KITAB AL-UMM