BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dalam
perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan
prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam
Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan
tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan
baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran
dan Hadits Nabi.
Di antara
metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif
agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang
pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak
ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam
berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam
tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga
yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung
mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika
suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode
hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain
yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
Wahbah
az-Zuhaili membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau
mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang
menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi
yang mendasari tegaknya dinding.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian dari wahab az-Zuhaili?
2. Bagaimana pendapat Tentang Wahab
az-Zuhaili?
C. Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui tentang wahab Az-Zuhaili.
2. Mengetahui pendapat para Ulama Tentang
Wahab Az-Zuuhaili.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al – Dzari’h
Pengertian dzari’ah ditijau
dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzariáh dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan
yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut
ditentang oleh para ulama ushul lainya, diantarany Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang
menyatakan bahwa dzariaáh itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang
tetapi ada juga yang dianjurkan.[1]
Pengakuan terhadap dzariáh pada
dasarnya adalah dengan memandang kepada akhir perbuatan, lalu terhadap
perbuatan itulah ditetepkan hukum yang sejalan dengan hasiln ya, baik hasil itu
dimaksudkan atau tidak. Jika perbuatan itu membawa hasil yang dituntut,
mkaperbuatan itu termasuk dituntut, sabaiknya jika membawa kepada yang
buruk maka perbuatan itu dilarang tanpa
peduli kepada niat pelakunya tetapi pandangan diarahkan pada hasil dari perbuatanya.
Dzariáh ini merupakan salah satu dasar yang disebutkan
oleh kitabkitab Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan kitab-kitab Mazhab lain
tidak menyebutkan dengan judul ini, akan tetapi apa yang dicangkup oleh
pengertian Dzari’ah ditetapkan
pula dalam Fiqih Hanafi dan Syafi’y dengan perbedaan dan persamaan dalam
beberapa bagiannya.[2]
B.
Pengetrian Saddu Al-Dzari’ah
Saddu Artinya, Menutup, Menghalangi. Dzara’i atau Dzari’ah
artinya, bahaya-bahaya. Saddu Dzari’ah berarti menutup jalan.[3]
Saddu dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih
adalah:
“suatu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa
menyampaikan kepada perkara yang terlarang (haram ).”
Sebagai contoh misalnya, masalah bertemanan atau bersahabat dengan
orang-orang jahat. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama ,
orang-orang jahat tersebut akan menjadi baik karena bersahabatan dengan kita,
tetapi kedua sebaliknya mungkin
pula terjadi bahwa kita akan menjadi orang jahat akibat persahabatn itu,
sedangkan masalah bersahabat adalah mubah hukumnya.
Sesuatu yang menyebabkan jatuh atau terbawa kepada yang terlarang,
dilihat dari segi bemntuknya dapat dibagi menjadi tiga:
1.
Sesutu yang jika dilakukan, biasanya akan terbawa kepada yang
terlarang.
2.
Sesuatu yang jika dilakukan tidak terbawa pada yang terlarang.
3.
Sesuatu perbuatan yang jika dilakukan menurut pertimbangan adalah
sama kemungkinanya untuk terbawa pada yang terlarang dan pada yang tidak
terlarang.
Alasan para ulama membolehkan berdalil dengan Saddu Dzariáh antara
lain adalah hadis Nabi yang berbunyi:
“Ketauhilah jurang Allah itu adalah kemaksiatan kepadanya, maka
barang siapa yang bermain-main disekeliling jurang itu dikhawatirkan akan jatuh
kedalamnya.” (HR. Muttafaqun Alaih)
Dan hadis Nabi yang berbunyi:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau kepada sesuatu yang
tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Ulama terkenal yang memakai “Saddu Adzari’ah dikalangan Ushul Fiqih
adalah Malik bin Annas yang dikenal
dengan sebutan Imam Malik.[4]
C.
Macam-Macam Saddu Al-Dzari’ah
Para ulama membagi Dzari’ah berdasarkan dua segi; segi kualitas
kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
1.
Dzaria’h dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut
imam Asy-Syatibi, dari segi ini Dzariáh terbagi menjadi empat macam:
a.
Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.
Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang
menyebabkan pemilik rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman
tersebut karena melakukan dengan sengaja.
b.
Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung
kemafsadatan, misalnya menjual makanan biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c.
Perbuatan yang dilakukan keungkinan besar akan membawa
kemafsadatan. Misalnya menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan
digunakan unruk membunuh.
d.
Perbuatan yang pada dasranya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi kemungkinan akan terjadi kemafsadatan, sepertin baiy al-ajal
(jual beli dengan harga lebih tinggi dari harga asaln karenatidak kontan).
Contohnya: A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian
amenjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai,
sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif, semantara B tinggal menunggu saja
pembayaran dari kredit kendaraan tersebut, meskipun kendaraannya telah menjadi
miliknya kembali. Jual beli ini cendrung pada riba.
Dalam hal ini
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang
atau dibolehkan. Karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi.
Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli
tersebut. Oleh karena itu, bentuk Dzari’ah tersebut dibolehkan.
Ada tiga alasan
dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan
pendapatnya:
a.
Dalam baiy’ al-ajal perlu diperhatikan tujuanya atau
akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun
sifatnya terbatas praduga yang berat (galabah azhzhann), karena syara’
sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat,
disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu
perbuatan yang diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk
melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah:
Artinya:
“Menolak
segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
b.
Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang
bertentangan, antara sahnya jual beli karena adanya syarat dan rukun, dengan
menjaga seseorang dari kemmadaratan, karena bentuk jual beli tersebut
jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c.
Dalam nash banyak
sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan,
tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seseorang laki-laki
tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang
berpergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan
praduga semata-mata, tetapi rasulullah SAW. melarangnya, ksrena perbuatan itu
banyak membawa kemafsadatan.
2.
Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut
ilmu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah
perbuatan yang mafsadat.
b.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya yang dibolehkan atau dianjurkan
tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tida,
seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan
agar wanita itu bisa kembali pada suaminya yang pertama (Nikah attahlil).
Menurut
Ibnu Qayyim kedua bagian diatas terbagi lagi dalam:
1.
kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya
2.
kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua
pembagian inipun menurutnya terbagi lagi menjadi empat:
a.
Sengaja melakukan perbuatanya yang nafsadat, seperti minum arak,
perbuatan ini dilarang oleh syara’.
b.
Perbutan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja
maupun tida, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga
dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali pada suaminya yang pertama (Nikah
attahlil).
c.
Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya bertujuan tidak untuk
melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan,
seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik
juga akan mencaci maki Allah.
d.
Suatu pekerjaan yang pada dsarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan
kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim,
kemaslahatanya lebih besar, maka hu[5]kumnya
dibolehkan sesuai kebutuhan.
D.
kedudukan Saddu Al-Adzari’ah
Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
kehujahan saddu al-dzariáh sebagai dalil syara’. Berpegangan kepada dzari’ah
dan memberinya hukum yang sama dengan hukum yang dihasilkannya, didasarkan
pada baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
1)
Di dalam Al Qur’an terdapat larangan memaki berhala dengan firman
Allah :
wur (#q7Ý¡n@
úïÏ%©!$#
tbqããôt
`ÏB
Èbrß
«!$# (#q7Ý¡usù
©!$# #Jrôtã
ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx.
$¨Yy
Èe@ä3Ï9
>p¨Bé&
óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/
(#qçR%x. tbqè=yJ÷èt
ÇÊÉÑÈ
Artinya:
“dan
jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti
mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. (QS.
Al-An’Am:108)
Artinya:
“Hai
orang beriman janganlah kamu katakan: “Raa’inaa”, tetapi katakanlah :
“perhatikanlah dan dengarlah”.”
Larangan
tersebut disebabkan oleh yahudi menggunakan kata-kata “Raa’inaa” itu
untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkan untuk menutup peluang (sadduzzari’ah)
dari makian mereka terhadap Nabi.
2)
Dalam sunnah Rasulullah SAW. banyak sekali datang hadist beliau,
diantaranya:
a)
Nabi menahan untuk tidak membunuh orang munafiq sementara mereka
terus mengumbar fitnah dikalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan Dzari’ah
jika mereka dibunuh akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. membunuh
sahabatnya.
b)
Bahwa Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari
orang yang berutang kepadanya untuk mencegah terjadinya riba.
c)
Nabi melarang orang yang memberi sedekah untuk membeli apa yang
disedekahkan, karena dzari’ah dari terikatnya kaum faqir
mengembalikannya dengan harga yang buruk/murah dari pasaran.
Ulama Hanafiyah,Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima saddu
al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu seja dan menolaknya dalam
masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerima apabila dalam keadaan
uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan shalat
jum’at dan dibolehkan menggantikanya dengan shalat dzuhur. Namun shalatshalat
dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam , agar tidak ditduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar ushul fiqih Fakultas
Hukum Universitas Kairo, ulama hanafiyah dan Syafi’iyah menerima saddu
al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau
sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh
para ulama ushul: Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu dan dari
segi dampaknya (akibat).[6]
E.
Saddu Al-Dzari’ah sebagai Sumber
Hukum
Para ulama berpendapat mengenai kedudukan saddu al-dzari’ah sebagai
sumber hukum.
1.
Menurut Imam Malik bahwa saddu al-dzari’ah dapat dijadikan sebagai
sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka
perbuatan-perbuatan yang dialarang oleh Allah.
Al-qurtubi, seorang ulama madzhab Maliki menyatakan: “sesunggunya
apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat)
adakalanya secara pasti menjerumuskan. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat
bukanlah termasuk saddu dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan
kemaksiatan harus ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat,
itulah yang termasuk saddu al-dzari’ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan
yang dilaarng oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara
yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada
perbuatan maksiat.
2.
Menurut Imam Abu Hanafiahdan Imam Syafi’i, bahwa saddau al-dzari’ah
tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya
mubah tetap diperlakukan sebagai mubah , dalam sebuah hadist Nabi SAW.
mengatakan:
Artinya:
“Tinggalkan
apa yang meragukan bagimu kepada yang tidak meragukan”.
Artinya:
“bagi
siapa yang berputar-putar disekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan
melanggar larangan tersebut”.[7]
Secara global, sikap pandang para
ulamaterhadap posisi saddu al-dzari’ahdapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu,
yaitu kubu penerima (pro) dan kubu penolak (kontra).
Adapun
kubu penerima (pro) mengemukakan pendapat argumentasi sebagai berikut.
a.
Dalam sunnah al-baqarah (2): 104 dinyatakan bahwa orang mukmin
dilarang mengucapkan kata “Ra’ina” (suatu ucapan yang biasa digunakan orang
yahudi untuk mencela/mengejek Nabi).
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#qä9qà)s?
$uZ싼u
(#qä9qè%ur
$tRöÝàR$#
(#qãèyJó$#ur
3
úïÌÏÿ»x6ù=Ï9ur
ë>#xtã
ÒOÏ9r&
ÇÊÉÍÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih(Al-Baqoroh Ayat 104).
Larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu
akan membawa kepada mafsadah, yakni tindakan mencela/mengejek Nabi. Pesan
ayat ini mengisyaratkan urgensi saddu al-dzari’ah.
b.
Dalam surah Al-A’raf (7): 163 dinyatakan bahwa kaum bani israil
dilarang mendekati dan mengambil ikan-ikan yang terapung di permukaan air laut
pada hari sabtu-hari khusus beribadah bagi mereka-.
öNßgù=t«óur
Ç`tã
Ïptös)ø9$#
ÓÉL©9$#
ôMtR$2
nouÅÑ%tn
Ìóst7ø9$#
øÎ)
crß÷èt
Îû
ÏMö6¡¡9$#
øÎ)
óOÎgÏ?ù's?
öNßgçR$tFÏm
tPöqt
öNÎgÏFö;y
$Yã§ä©
tPöqtur
w
cqçFÎ6ó¡o
w
óOÎgÏ?ù's?
4
y7Ï9ºx2
Nèdqè=ö6tR
$yJÎ/
(#qçR%x.
tbqà)Ý¡øÿt
ÇÊÏÌÈ
Artinya: dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada
hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar)
mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu,
ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka
disebabkan mereka Berlaku fasik. (Al-A’raf ayat 163).
Larangan itu didasarkan atas kenyakinan bahwa perbuatan mendekati
dan mengambil ikan-ikan tersebut akan membawa kemafsadah, yakni meningalkan
kewajiban beribadah pada hari khusus ibadah mereka.
c.
Hadist Nabi:
“beralihlah
dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan.” (HR. Al-Nasaí, al-Turmudzi, dan al-Hakim).[8]
d. Sejumlah larangan mengisyaratkan urgensi Sadd
Al-Zariah bagi penetapan hukum, antara lain:
1) Larangan melamar perempuan yang sedang
‘iddah karena perbuatan melamar demikian akan membawa kepada masfsadah.
2) Larangan jual beli secara tuanai dan tempo
dalam satu akad karena perbuatan jual beli demikian akan membawa kepada mafsadah
yakni transaksi ribawi. Yang dibolehkan ialah jual beli secara tunai
dilakukan tersendiri/terpisah dari jual beli secara tempo (dua akad yang
terpisah)
3) Larangan terhadap kreditur menerima hadiah
dari debitur, ketika debitur meminta penundaan pembayaran utang (rescheduling)
karena penerimaan hadiah tersebut akan membawa kepada mufsadah yakni
transaksi ribawi.
4) Penetapan tindakan pembunuhan ahli waris
terhadap pewaris sebagai hal yang menghalangi hak kewarisan ahli waris tersebut,
agar tindakan pembunuhan tersebut tidak dijadikan jalan untuk mempercepat
perolehan warisan.
5) Pidana qisas bagi pelaku kolektif
pembunuhan terhadap satu orang korban; masalah ini sudah menjadi kesepakatan
para sahabat Nabi. Hal ini dimaksudkan agar pembunuhan yang demikian tidak
dijadikan model kejahatan demi menghindari pidana qisas.
6) Larangan terhadap kaum muslim – ketika
masih di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah – membaca Alqur’an dengan suara
nyaring. Larangan ini didasarkan atas pertimbangan agar kaum kafir Quraisy
tidak mencela atau mengejek Alqur’an., Allah (yang menurunkan Alqur’an ), dan
Nabi (yang menerima Alqur’an)
Kubu penolak (kontra) mengemukakan
argumentasi sebagai berikut.
a. Aplikasi Saad al-dzari’ah sebagai dalil penetapan hukum ijtihady,merupakan
bentuk ijtihad bi al-ra’yi yang tercela.
b. Penetapan hukum kehalaln atau keharaman
suatu harus didasarkan atas dalil qat’iy tidak bias dengan dalil dzani; sedangkan
penetapan hukum atas dasar saad adzarah merupakan bentuk hukum berdasarkan
dalail dzani.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saddu Al-Dzari’ah adalah menghambat segala
sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/
cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang
menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.
Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengisyaratkan kearah saddu al-zari’ah menarik perhatian para ulama’ contoh:
Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah
selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan. dan Surat al-Nur
ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya
diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Juga terdapat dalam
hadis nabi Muhammad S.A.W. contohnya yaitu Nabi melarang membunuh orang
munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh
sahabatnya dan Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena
cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Husen, Fiqih, (Seragen: Akik Pustaka, 2008)
Asmawi,
Perbandingan Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011)
Rachmat
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Sukimah
Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika)
Suparta,
Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 2003)
Suparta,
Fiqih, (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 2003)
No comments:
Post a Comment