Kisah
Asal Usul Sunan Bonang
Nama asli sunan bonang adalah raden makhdum ibrahim. ia merupakan putra sunan ampel dan dewi candrawati yang sering disebut
nyai ageng manila. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama islam secara
tekun dan disiplin oleh ayahnya yang juga seorang anggota wali sanga. Dan, ini
sudah bukan lagi rahasia lagi bahwa latihan para wali lebih berat dari pada
orang biaya pada umumnya. Ia adalah calon wali terkemuka, maka Sunan Ampel
mempersiapkan pendidikan sebaik mungkin sejak dini.
Cerita
sunan bonang,
Suatu hari disebutkan bahwa raden makdum ibrahim dan raden paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran agama islam hingga ke tanah seberang, yaitu negeri
pasai, aceh. Keduanya menambah pengetahuan kepada ayah kandung sunan giriyang bernama Syekh maulana ishaq. Mereka juga
belajar kepada para ulama besar yang menetap di negeri pasai, seperti para
ulama tasawuf yang berasal dari baghdad, mesir, arab, persia atau iran.
Raden
makdum ibrahim dan raden paku pulang ke jawa setelah belajar di negeri pasai.
Raden paku kembali kembali ke gresik dengan mendirikan pesantren di giri
sehingga terkenal sebagai sunan giri. Sementara itu, raden makdum ibrahim
diperintahkan sunan ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwah, ia sering
mempergunakan kesenian tradisional untuk menarik simpati rakyat, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut bonang”
SUNAN BONANG DAN AJARAN TASAWUFNYA
Di antara teks-teks Islam tarawal dalam
sejarah sastra Jawa terdapat untaian puisi-puisi mistikal (suluk) karya
Sunan Bonang, seorang wali sufi terkemuka di pulau Jawa yang tinggal di Tuban,
Jawa Timur. Selain sejumlah suluk, Sunan Bonang juga
meninggalkan karya penting yaitu risalah tasawuf yang oleh Drewes diberi
judul Admonitions of She Bari. Sunan Bonang lahir pada
pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16, sekitar tahun 1526
atau 1530 M (De Graff 1985:55). Dia adalah ulama yang mumpuni pada zamannya,
juga seorang ahli falak, musikus dan tentu saja sastrawan. Karua-karyanya
memperlihatkan bahwa dia menguasai bahasa dan sastra Arab di samping Persia,
Jawa Kuna dan Melayu.
Namanya
semula ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dia memakai beberapa nama
julukan seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain
(Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Bonang
diambil dari nama desa tempat dia mendirikan pesujudan dan pesantren,
yaitu Bonang. Desa itu tidak jauh dari kota Rembang dan Lasem di perbatasan
antara propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur sekarang ini.
Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang
tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu,
serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir
Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah
dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Sulalatus
Salatin (Sejarah Melayu) mencatat kunjungan Sunan Bonang dan
Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari
Mekkah, dia ditugaskan oleh ayahnya ntuk memimpin masjid Singkal, Daha di
Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). .
Pada tahun 1498 M Sultan Demak Raden Patah mempercayakan
kepada Sunan Bonang untuk menjadi imam Mesjid Agung Demak. Dalam tugasnya
itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah
pimpinannya masjid Demak segera berkembang menjadi pusat keagamaan dan
kebudayaan terkemuka di pulau Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, dia
berselisih pandangan dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk mngundurkan diri
dari jabatannya sebagai imam masjid agung. Dari Demak Sunan Bonang pindah
ke Lasem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini
dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang,
khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya
ini di mana dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas
abdi dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M.
2000:96-107).
Suluk-suluk Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah penulis prolifik.
Karangan-karangannya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) Untaian puisi
mistikal yang lazim disebut suluk dalam sastra Jawa. Dalam suluk-suluknya dia
mengungkapkan pengalaman keruhaniannya mengikuti jalan sufi. Dalam suluknya
pula dia menyampaikan pokok-pokok ajaran tasawuf melalui ungkapan-ungkapan
simbolik sastra. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk
Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk
Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh,
Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa
seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog
antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak
dijumpai sastra Arab dan Persia.
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang
memuat suluk-suluk Sunan Bonang. Khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan
Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk
tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita
Suluk Latriyang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini
menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya.
Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan
semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika
Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah
Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak
dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang
menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan
kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan
Bonang juga menceritakan pengalamannya selama beradadi Pasai bersama
guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Perjuangan
Sunan Bonang
Nama
lengkap Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang.
Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.
Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.
Ketika
R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan.
Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa
sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru
mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan
Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika
ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
Oleh
Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok
milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari,
akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut. R. Ibrahim
mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar
R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di
suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara
tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama
Chidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.
Empat
hari kemudian Nabi Chidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah
yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R.
Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning,
beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu
itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada
Allah SWT). Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian
dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.
R.
Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur
inilah santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri
beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.
Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.
Diceritakan
dalam sejarah, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu yang
mengajak berdebat dengan Sunan Bonang, bahkan kemudian pendeta Hindu itupun
mengakui kekalahannya, akhirnya bertobat serta menyatakan diri masuk Islam.
Pada
masa hidupnya dikatakan, bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar di Pasai.
Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam
kalangan Bangsawan dari Keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai
tempat berkumpul bagi para Wali, serta pusat Kerajaan Islam. Raden Ibrahim
Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai
dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok
sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat
mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam
riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi
Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama
Dewi Rukhil.
Dewi
Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq
dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di
Karimunjawa dalam status jejaka.
Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.
Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.
No comments:
Post a Comment