BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Di dalam
mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya, atau di dalam menentukan
bahwa sesuatu itu benar, dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita ingin
menetapkan dasar pijakan suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita
memerlukan adanya bukti-bukti, tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk yang sah dan
akurat, sehingga kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat ditunjukan dan
dibuktikan, dan sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was
yang mungkin tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang
kokoh di dalam mengerjakan suatu perkara tersebut.
Di dalam
hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua landasan pokok yang harus di
pegang oleh setiap Muslim di dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu Naqli dan
'aqli. Dimana kedua landasan tersebut merupakan pijakan yang dipakai oleh
mereka, khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan
memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup
disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath (mengambil
dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang
lingkup disiplin ilmu fikih, serta ketika menafsirkan al-Qur'an.
Untuk
itu, pemakalah akan mencoba membahas kedua landasan pokok tersebut agar kita
selaku umat islam dapat mengetahui dan memahami naqli dan 'aqli, serta dapat
mempergunakannya di dalam keber-agama-an kita sehari-hari, baik yang ada
kaitannya dengan keimanan maupun amal perbuatan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan dalil Naqli dan dasar
hukumnya?
2. Apa yang dimaksud dengan dalil Aqli dan dasar
hukumnya?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui tentang Dalil Naqli beserta
dasar hukumnya.
2. Untuk mengetahui tentang Dalil Aqli beserta
dasar hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dalil
Naqli
1.
Pengertian Dalil Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (نقل الشيء) yakni mengambil sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain, dan (نَقَلَة الحديث) yakni mereka yang menuliskan
hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist:
dalil naqli. Oleh karena itu naqli secara istilah identik
dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya
dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita
oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi.[1]
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan
sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:
تركت فيكم أمرين لن
تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[2]
Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara,
yang apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat:
Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan
ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi
al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada
riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan
al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau
menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau
para tabi'in[3],
seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
a.
Al-Qur’an
1)
Pengertian
Al-Qur’an berasal dari bahasa arab yang secara
etimologi adalah masdar dari kata qara’a setimbang dengan kata fa’lan dengan
arti bacaan berbicara tentang apa yang tertulis padanya.
Kata Al-Qur’an digunakan untuk maksud nama
kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafadzkan dengan
menggunakan alif lam berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengannya,
sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 9:
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
Artinya : Sesungguhnya Al Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar,(Al-Isra’)
Pertama, bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafaz
yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada
Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafadzkan oleh Nabi Muhammad dengan
ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
Kedua, bahwa Al-Qur’an itu adalah bahasa arab,
yang mengandung arti bahwa Al-Qur’an yang dialihbahasakan kepada bahasa lain
atau yang diibaratkan dengan bahasa asing bukanlah Al-Qur’an.
Ketiga, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan
kepada Nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al-Qur’an.
Keempat, bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara
mutawatir mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinukilkan secara
mutawatir bukanlah disebut Al-Qur’an.
Disamping 4 unsur pokok disebutkan di atas
terdapat pula beberapa unsur dalam sebagian definisi yang dikemukakan di atas
sebagai unsur penjelasan tambahan terhadap keterangan yang disebutkan di atas.
Pertama, kata-kata mengandung mu’jizat setiap
surat daripadanya memberikan penjelasan bahwa setiap ayat Al-Qur’an
mengandung daya Mu’jizat.
Kedua, kata-kata beribadah membacanya memberikan
penjelasan bahwa Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan di atas diakui telah
melakukan suatu perbuatan ibadat yang berhak mendapat pahala.
Ketiga, kata-kata tertulis dalam mushaf
sebagaimana yang terdapat dalam ta’rif Syaukani dan Sarkhisi, mengandung arti
bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf walaupun itu wahyu diturunkan
kepada Nabi, umpamanya ayat-ayat yang telah dinasakhkan tilawahnya tidak lagi
disebut Al-Qur’an menurut artian diatas.[4]
2)
Penjelasan
Al-Qur’an Terhadap Hukum
Walaupun Al-Qur’an itu bukan kitab hukum,
melainkan mengandung dasar-dasar dan norma yang menjelaskan tentang hukum yang
perlu dipahami dan dirumuskan dalam bahasa hukum oleh para ahlinya. Penjelasan
Al-Qur’an tentang hukum secara sederhana dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk:
a)
Al-Qur’an
memnerikan penjelasan secara sempurna dalam bentuk yang terperinci yang semua
orang dapat memahaminya dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut oleh Nabi.
Penjelasan itu diseput bayan kamil.
b)
Al-Qur’an
memberikan penjelasan secara umum dan garis besar, sedangkan untuk penjelasan
selanjutnya diserahkan Allah kepada Nabi, disebut bayan ijmail.
c)
Al-Qur’an
menjelaskan hukum secara tidak langsung melalui isyaratnya. Isyarat ini
kemudian dipahami oleh para ahliny atau mujtahid, dan merumuskan daripadanya
hukum lain di luar yang secara langsung disebutkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Al-Qur’an dalam bentuk pertama
menghasilkan penunjukan yang pasti terhadap hukum sehingga hukumnya disepakati
oleh umat Islam, sedangkan penjelasan dalam bentuk kedua dan ketiga
menghasilkan penunjukan yang tidak pasti sehingga mungkin timbul beda pendapat
dalam memahami dan menetapkan hukumnya.
3)
Kekuatan
Penunjukan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Ahli ushul fiqih sepakat menetapkan bahwa:
a)
Al-Qur’an
dari segi keautentikannya datang dari Allah SWT adalah pasti dan tidak
diragukan (qath’iy tsubut)
b)
Al-Qur’an
dari segi penunjukannya terhadap hukum ada yang pasti (qath’iy dalalah),
sehingga tidak mungkin timbul padanya pemahaman lain dan oleh karenanya tidak
terdapat padanya beda pendapat.
4)
Kedudukan
Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Ahli ushul fiqih sepakat mengatakan bahwa
Al-Qur’an menduduki sumber dan dalil pertama hukum syara’ yang berarti dalam
menetapkan hukum, pertama harus mencari jawabannya dalam Al-Qur’an, setelah
tidak menemukannya dalam Al-Qur’an baru mencarinya dari sumber dan dalil lain
di bawahnya. Dalam kedudukannya sebagai sumber utama, maka ia merupakan sumber
dari segala sumber hukum oleh karena itu, hukum-hukum yang ditetapkan melalui
dalil dan sumber lain tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an.
5)
Hukum
yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terkandung ayat-ayat yang yang
berbicara tentang hukum, yang secara garis besar dapat dikelompokkan kepada
tiga:
a)
Hukum-hukum
yang berkenaan dengan apa-apa yang harus diyakini oleh umat Islam dan bagaimana
cara melakukannya, disebut hukum i’tiqadiyah.
b)
Hukum-hukum
yang berkenaan dengan sifat dan akhlak yang baik yang harus dilakukan oleh
manusia mukalaf, dan sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhi umat disebut
hukum khuluqiyah.
c)
Hukum-hukum
yang berkenaan dengan tindak tanduk dan amal perbuatan yang harus dilakukan
atau dijauhi oleh umat dalam kehidupan dunia, baik dalam hubungannya dengan
Allah Pencipta maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya disebut hukum syari’iyah.[5]
B.
Dalil
Aqli
1.
Pengertian
Dalil Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata
bahasa Arab (عقل): akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية): denda, (الحكمة): kebijakan, dan (حسن
التصرف): tindakan yang baik atau
tepat.[6]
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi
diantaranya:
a.
Cahaya
nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan
fitrah.[7]
b.
Aksioma-aksioma
rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
c.
Kesiapan
bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian dari indera dan insting
yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada
dan bisa hilang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah
satu sabdanya: "...dan termasuk orang gila sampai ia kembali
berakal".[8]
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh
oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan
dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna
bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt[9],
sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan".[10]
a.
Qiyas
1)
Pengertian
Qiyas
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu
membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan
menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa
dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang
telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat
antara keduanya (asal dan furu’).[11]
2)
Rukun
dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun
qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash
atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi
hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl
(hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap
rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:[12]
a)
Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
·
Hukum
ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan
dibatalkan
·
Hukum
itu ditetapkan berdasarkan syara’
·
‘Ashl
itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
·
Dalil
yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
·
Ashl itu
tidak berubah setelah dilakukan qias
·
Hukum
ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
b)
Hukum
al-Ashl
·
Tidak
bersifat khusus
·
Hukum al-ashl
itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
·
Tidak
ada nash
·
Hukum
al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
c)
Far’u
o
‘Illatnya
sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
o
Hukum
ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
o
Hukum
far’u tidak mendahului hukum ashl
o
Tidak
ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
d)
‘Illat
o
‘Illat
mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
o
‘Illat
dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
o
‘Illat
itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
o
‘Illat
merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
o
‘Illat
itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
o
‘Illat
itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
o
‘Illat
itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
o
‘Illat
itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
3)
Pembagian
Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari
beberapa segi berikut.
Dari segi kekuatan penetapan hukum pada furu’
bila dibandingkan dengan kekuatannya pada ashal, qiyas dibagi tiga,
yaitu:
a)
Qiyas awlawi, yaitu qiyas
yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat daripada berlakunya hukum
pada ashal, karena kekuatan ilat yang terdapat pada furu’.
b)
Qiyas
musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada
furu’ sama kuatnya dengan berlakunya pada ashal.
c)
Qiyas
adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada
furu’ kurang kuat dibandingkan dengan berlakunya pada ashal,
karena keadaan ilatnya lebih rendah dari yang terdapat pada ashal.[13]
4)
Sebab-sebab
dilakukan Qiyas
Di antara sebab-sebab dilakukannya qiyas adalah:
a)
Karena
adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di
dalam nas Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dikemukakan hukumnya dan mujtahid pun
belum melakukan ijma’.
b)
Karena
nas, baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah telah berakhir dan tidak turun
lagi.
c)
Karena
adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan
peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nas.[14]
b.
Ijtihad
1)
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad secara bahasa, berasal dari kata al-jahd
dan al-juhd, yang berarti al-tahaaqah (tenaga, kuasa, dan daya). Ijtihad
secara istilah adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih
Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’
(agama).[15]
2)
Dasar
Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu
metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad
banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,
di antaranya:[16]
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 wur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat. (An-Nissa ayat: 105)
3)
Syarat-syarat
Ijtihad
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap
orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad
dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum
dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.
a)
Syarat-syarat
Umum
·
Baligh
·
Berakal
sehat
·
Memahami
masalah
·
Beriman
b)
Syarat-syarat
Khusus
·
Mengetahui
ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam
hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbab nuzul, mustarak, dan sebagainya.
·
Mengetahui
sunnah-sunnah Nabi berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbab
wurud, dan dapat mengemukakan hadist-hadist dari berbagai kitab hadist, seperti
Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, dan lain-lain.
·
Mengetahui
maksud dan rahasia hukum Islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan
akhirat.
·
Mengetahui
kaidah-kaidah kuliah, yaitu kaidah-kaidah fiqih yang diistimbatkan dari
dalil-dalil syara’.
·
Mengetahui
kaidah-kaidah bahasa arab, yaitu nahwu, saraf, dan balaghah dan sebagainya.
·
Mengetahui
ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar’i dan cara-cara mengistimbatkan
hukum.
·
Mengetahui
ilmu mantiq.
·
Mengetahui
penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah (semacam praduga tak bersalah,
praduga mubah, dan sebagainya).
·
Mengetahui
soal-soal ijma, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
c)
Syarat-syarat
Pelengkap
·
Mengetahui
bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan
ditetapkan hukumnya.
·
Mengetahui
masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka
sepakati.
·
Mengetahui
bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Naqli dan 'Aqli merupakan dua
landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di
ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan
keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu
Tauhid atau akidah, atau ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil)
dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup
disiplin ilmu fikih, atau ketika menafsirkan al-Qur'an.
Naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang
di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang
suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita olehnaqalah al-hadist dan
perawi-perawi. Keidentikan ini selaras dengan kebutuhan ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil
yang bisa memberantas dan mengikis segala keragu-raguan atau kepercayaan yang
lemah, sehingga muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang kuat, tidak
mudah goyah atau mendangkal.
Namun keidentikan ini
tidak menutup bidang ilmu lain untuk berpegang kepada naqli, justru
setiap kajian-kajian ilmu agama Islam tidak terlepas dari naqli,
seperti dalam bidang fikih dan tafsir, dimana seorang fakih ketika ingin
menetapkan hukum suatu perkara ia membutuhkan naqli, begitu juga
mufassir ketika ingin menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an ia memerlukan
bantuan naqli, sehingga muncullah istilah tafsir bi
al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik
dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan
obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan
akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia
diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu
berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah swt.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Dawud (no. 4403), Shahiih
Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6)
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar
Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2012)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ibrahim bin Muhammad
al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis
Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II
Ismail Muhammad Syah, Filsafat
Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999)
Malik Bin Anas, Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan,
2004, jil. 5
Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah
Muhammad Amaan Bin Ali
Al-Jaamii, Al-'aqlu
Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi
Muhammad Amaan Bin Ali
Al-Jaamii, Al-'aqlu
Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-Syamilah
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta:
Kencana, 2005)
Suparta, Fiqih, (Semarang :
PT. Karya Toha Putra,1994)
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli
Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.
[1] Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni
Rusydi, Al-maktabah Asy-Syamilah, hal. 3.
[5] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2012), hal 34-39
[6] Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal
li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II, hal. 40.
[9] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai
Dengan Dalil Naqli Yang Shahih (terj),
Al-Manhaj.or.id.
[13] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqih, (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2012), hal 55-56.
No comments:
Post a Comment