A. Pengertian Syari’ah
Secara bahasa,
syari’ah artinya jalan lurus menuju mata air.[1]
Mata air digambarkan sebagai sumber kehidupan. Syari’ah bearti jalan lurus
menuju sumber kehidupan yang sebenarnya. Sumber hidup manusia yang sebenarnya
adalah Allah. Untuk menuju Allah Ta’ala, harus menggunakan jalan yang dibuat
oleh Allah tersebut (syari’ah). Syari’ah ini menjadi jalan lurus yang harus
ditempuh seorang muslim.[2]
Tidak ada jalan lain bagi orang muslim, kecuali menggunakan syari’ah Islam
sebagai hukum yang mengatur hidupnya.
Allah
berfirman dalam QS. Al-Jaatsiyah/45 ayat 18;
¢OèO
y7»oYù=yèy_ 4n?tã
7pyèΰ z`ÏiB ÌøBF{$#
$yg÷èÎ7¨?$$sù wur
ôìÎ7®Ks?
uä!#uq÷dr&
tûïÏ%©!$# w
tbqßJn=ôèt ÇÊÑÈ
Kemudian kami
jadikan kamu berada di atas suatu syari’ah dari urusan itu, maka ikutilah
syari’ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.
Secara
istilah, syari’ah adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala untuk mengatur
manusia baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan alam
semesta, dan dengan makhluk ciptaan lainnya. Syari’ah ini ditetapkan Allah
Ta’ala untuk kaum muslimin, baik yang dimuat dalam Al-Qur’an maupun dalam
Sunnah Rasul.[3]
Para fuqoha
(ahli fikih) menjelaskan syari’ah untuk menunjukkan nama hukum yang ditetapkan
oleh Allah untuk para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik
hukum itu mengenai hukum formal maupun hukum etika (akhlak).[4]
Menurut
Hossein Nasr, Syari’ah atau hukum Ilahi Islam merupakan inti agama Islam
sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai Muslim jika ia menerima legitimasi
syari’ah sekalipun ia tidak mampu melaksanakan seluruh ajarannya.[5]
Pendapat Nasr ini menekan bahwa yang terpenting adalah menerima syari’ah Islam,
walaupun belum mampu melaksanakannya. Akan tetapi, jangan sekali-kali orang
Islam merasa tidak mampu untuk melaksanakan tatanan kehidupan berdasarkan
syari’ah. Karena syari’ah itu sendiri sebenarnya hukum-hukum Allah yang pasti
manusia mampu melaksanakannya.
Perhatikan
firman Allah dalam surat al-Baqoroh/2 ayat 286:
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah; dan rahmatilah kami.
Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.
Berdasarkan
ayat di atas, jelas semua yang dibebankan kepada manusia, ia sanggup untuk
melaksanakannya. Hanya saja, seringkali akibat dari kemalasan sendiri sehingga
merasa tidak mampu, kemudian meningalkannya. Allah Maha Tahu kadar kemampuan
manusia dalam mengerjakan amalannya. Oleh karena itu, beramal baik akan dibalas
pahala sedangkan beramal buruk dibalas siksa.
Allah adalah
pembuat hukum yang tertinggi. Syari’ah Islam adalah penjelmaan konkrit kehendak
Allah di tengah manusia hidup bermasyarakat. Syari’ah merupakan prinsip yang
tercantum dalam al-Qur’an dan prinsip al-Qur’an itu sendiri. Agar prinsip
tersebut dapat diwujudkan dengan baik, tentu memerlukan contoh. Dalam hal ini,
dibutuhkan contoh-contoh dari Nabi tersebut, manusia dapat memahami apa yang
menjadi kehendak Allah Ta’ala itu. Oleh karena itu, Nabi dan Rasul patut
dicontoh dalam melaksanakan syari’ah.
Menurut Yusuf
Al-Qardhawi, kesempurnaan syari’ah Islam tampak dalam menembus kedalam berbagai
problem dengan segenap penyelesaiannya, memandangnya dengan sebuah pandangan
yang mencakup dan menyeluruh, berdasarkan pengetahuan tentang kondisi, hakikat,
motivasi, dan keinginan jiwa manusia, berdasarkan pada situasi dan kondisi
kehidupan manusia dan aneka ragam kebutuhan maupun gejolak jiwanya, serta
berusaha untuk menghubungkannya dengan nilai-nilai agama dan akhlak.[6]
Apabila kita
perhhatikan seluruh isi al-Qur’an, maka tampak jelas bahwa hukum-hukum yang ada
didalamnya sarat dengan kondisi. Artinya tidak terpisahkan dari kenyataan hidup
yang dihadapi manusia pada saat itu. Al-Qur’an tidak bersifat utopis (tidak
berdiri di ruang kosong), akan tetapi benar-benar realities. Oleh karena itu,
kita dapat melihat sisi fleksibelitas teknis pelaksanaan dari hukum tersebut.
Orang yang
mengetahui hal ini dengan baik, maka ia akan mampu memahami posisi dan
kehebatan syari’ah Islam dalam berbagai persoalan. Sebenarnya cacat manusia,
karena hanya melihat salah satu aspek saja, mengabaikan aspek lainnya. Atau
juga karena kaku memahami maqasid al-syar’i (tujuan hukum)
tersebut.
Berikut ini,
beberapa prinsip dasar syari’ah Islam yang bersifat kontekstual (waqi’iyyah),
seperti:
1.
Syari’ah Islam
memperhatikan fitrah manusia.
2.
Syari’ah Islam mengatur
hukum dalam reallitas kehidupan dan kebutuhan manusia.
3.
Syari’ah Islam
mempertimbangkan sisi darurat yang sewaktu-waktu terjadi pada manusia.
4.
Syari’ah Islam mendorong
agar kebutuhan manusia disalurkan melalui jalan yang benar, Karena pada
dasarnya manusia menyukai kebenaran.
Atas dasar
kontekstualisasi tersebut, syari’ah Islam mengandungprinsip umum, yaitu:
1.
Memudahkan dan
menghilangkan kesulitan.
2.
Memperhatikan tahapan waktu
dalam pelaksanaannya.
3.
Memperhatikan realitas
situasi dan kondisi.
Syari’ah yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut dengan ‘ibadah, sedangkan
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia atau alam lainnya disebut mu’amalah.
Semua itu adalah hukum-hukum Allah Ta’ala untuk keselamatan hidup manusia.
Syari’ah islam yang mengatur kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai
kebahagiaanya di dunia dan akhirat.
B. Perbedaan Syari’ah dan Fikih
Terkadang
masih ada orang yang menyamakan syari’ah dengan fikih. Salah kaprahnya ketika
menyebut kata syari’ah padahal yang dimaksud sebenarnya adalah fikih. Apalagi
istilah syari’ah sekarang banyak dipakai dalam perbanka, seperti Bank Syari’ah.
Hal ini tentu baik dan menunjukkan makin populernya istilah syari’ah. Akan
tetapi, secara keilmuan perlu dipahami apa itu syari’ah dan apa itu fikih.
Kata syari’ah
mempunyai makna hukum yang suci sepenuhnya, dan mengandung nilai-nilai uluhiyah,
sedangkan fikih merupakan ilmu tentang syari’ah. Kata syari’ah mengingatkan
kita kepada wahyu dan atau Sunnah Nabi, sedangkan fikih mengingatkan kita
kepada ilmu hasil ijtihad.[7]
Tata kehidupan
seorang muslim diatur muslim diatur dengan hukum-hukum syari’ah berdasarkan
al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum syari’ah tersebut dikodifikasikan secara lebih
jelas, rinci dan operasional melalui ijtihad oleh para ulama. Hasil kodifikasi
hukum syari’ah disebut fikih.
Fikih awalnya,
bermakna pemahaman. Kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang
disebut ilmu fikih. Ilmu fikih ini diturunkan dan disusun dari syari’ah Islam.
Fikih Islam
tak ubahnya bagaikan wujud material yang tumbuh dari sesuatu yang sudah ada.
Fikih mencapai kesempurnaan tidak secara sekaligus, melainkan tumbuh secara
bertahap dari sesuatu yang telah ada sebelumnya sampai mencapai puncak
kematangan dan kesempurnaan. Hal ini mencerminkan perkembangan ilmu manusia.
Bangsa Arab
telah mengenal kata syari’ah jauh sebelum kata fikih. Kata syara’a dan
turunannya disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman: “kemudian
Kami Jadikan Kamu di atas Satu Syari’ah, maka Ikutilah Ia”. Pengertian
syari’ah dalam ayat ini digunakan sebagai imbangan bagi syari’ah Nabi Musa dan
syari’ah Nabi Isa. Dalam ayat tersebut kata syari’ah berarti agama secara umum.
Sementara kata fikih dalam pengertiannya yang kita kenal sekarang ini baru
dikenal dalam bahasa arab setelah (pasca) periode awal Islam.
Ibn Kaldun
dalam Muqaddimah mengatakan:
“Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah mengenai
perbuatan-perbuatan orang-orang mukallaf sebagai wajib, haram, sunat,
makruh dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an, Sunah Nabi dan
dalil-dalil yang ditetapkan oleh perbuatan hukum (syar’i) untuk
mengetahuinya. Jika hukum-hukum tersebut digali dari dalil-dalil itu maka
itulah yang dinamakan fikih. Pada awal Islam, menurut Ibn Kaldun bahwa
orang-orang yang menggali hukum-hukum itu dikenal dengan nama qurra’ untuk
membedakan dari orang-orang yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Kemudian wilayah
kekuasaan Islam meluas dan hantaran mempelajari al-Qur’an, orang-orang arab tidak
buta huruf. Hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan penggalian hukum.
Akhirnya fikih menjadi sempurna dan menjadi suatu keahlian serta disiplin ilmu
tersendiri, dan nama qurra’ (para pembaca) diganti dengan fuqoha.[8]
Jadi fikih
berisi peraturan-peraturan pelaksanaan yang member pegangan dan pedoman dalam
berperilaku. Hukum syari’ah yang telah dikoifikasi secara luas yang berkaitan
dengan aspek ibadah dalam bentuk fikih ibadah. Sedangkan yang berkaitan dengan
aspek social kemasyarakatan dikodifikasi dalam bentuk fikih mu’amalah.
Kitab-kitab
fikih itu telah disusun oleh banyak ulama menurut metode masing-masing. Tetapi
ada empat pakar fikih yang diikuti kebanyakan kalangan Sunni hingga sekarang,
yaitu:
1.
Fikih Hanafi, disusun oleh
Abu Hanafiah.
2.
Fikih Maliki, disusun oleh
Imam Maliki bin Anas.]
3.
Fikih Syafi’I, disusun oleh
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
4.
Fikih Hambali, disusun oleh
Imam Ahmad bin Hambali.
Penyusunan
Fikih yang empat di atas sudah selesai dalam dua Abad pertama sesudah
Rasulullah. Berkaitan dengan ilmu fikih sebagai basil ijtihad, para Imam Mazdhab
menganjurkan para generasi selanjutnya jangan bertaklid buta. Artinya harus terus
mengembangkan ijtihad untuk melahirkan ilmu fikih baru.
Imam Abu
Hanifah dan Abu Yusuf berkata:
“Tidak
boleh bagi seseorang berkata dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui dari
mana kami ambil perkataaan kami itu.”
Imam Malik berkata:
“Aka ini
hanya seorang manusia mungkin salah dan mungkin benar, oleh sebab itu
periksalah pendapatku itu. Semua yang sesuai dengan Al-Qur‘an dan Al-Sunnah
ambilah ia dan segala yang tidak sesuai tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i
berkata:
“Apa yang
telah aku katakan, padahal Nabi telah berkata barlainan dengan perkataan itu,
maka apa yang lsahih diterima dari Nabi itulah yang lebih patut kamu turuti dan
jangan kamu bertaklid kepadaku”.
Imam Ahmad berkata:
“jangan
kamu bertalid kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i dan Ats-Tsaury, dan
ambilah hukum itu dari tempat mereka mengambil“.
Dalam fikih
khususnya terhadap masalah furu’iyyah, (masalah cabang) banyak terjadi perbedaan
pendapat atau ikhtilaf. Ikhtilaf di antara umat sebenarnya dapat menjadi
rahmat, karena dengan ikhtilaf itu semua orang dapat saling memberikan nasehat
tentang kebenaran dan kesabaran. Akan tetapi, akibat kejahilan manusia,
perbedaan pendapat itu sering mengarah pada perpecahan. Seperti umat Islam
sekarang terkesan berpecah belah akibat perbedaan fikih yang dipakai. Padahal
itu masalah kecil (cabang) jika dilihat dari kebesaran Allah dan keluasan
Syari’ah Islam.
Saat ini di
dunia Islam, seluruh Afrika Utara dan Afrika Barat mengikuti madzhab Maliki
yang paling dekat dengan Madinah. Sejumlah orang di Suriah dan Arab Saudi
mengikuti madzhab Hambali yang paling ketat mentaati A1-Qur’an dan Sunnah.
Madzhab Syafi’i diikuti oleh sebagian besar warga Mesir dan mayoritas masyarakat
Asia Tenggara, yakni Indonesia dan Malaysia. Madzhab Hanafi sebagai madzhab terkemuka
pada masa Utsmaniyah, dianut oleh Bangsa Turki dan anak benua India. Madzhab Ja’fari,
satu-satunya madzhab Syi’ah, berkembang di -Iran, Irak dan Lebanon.”[9]
C. Kandungan Syari’ah
Syari’ah
biasanya dibagi menjadi subjek yang berhubungan dengan ibadah yang disebut ibadat
dan yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang disebut mu’amalat.
Dengan menganalisis subjek-subjek tersebut, kita dapat melihat bahwa syari’ah bukan
hanya mcncakup kehidupan beragama secara pribadi tetapi juga menyentuh
aktivitas manusia secara kolektjf seperti ekonomi, sosial, politik, budaya,
kedokteran, pendidikan, teknologi dan lain-lain.
Syari’ah dalam
aspek pertama yaitu ibadah merupakan perbuatan paling inti dalam Islam, yaitu
shalat, zakat, puasa, dan hajji. Seluruh madzhab fikih memaparkan sccara rinci
ajaran yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut. Aspek ibadah ini
menyangkut kondisi internal dan eksternal agar tetap terlaksana
dalam keadaan apapun, tetapi tidak menjadikan sebagai beban. Karena yang utama
dari aspek ibadah adalah kebutuhan manusia itu sendiri yang dapat diterima oleh
Allah sebagai amal kebaikan.
Syari’ah dalam
aspek kedua yaitu mu’amalah merupakan aplikasi dari ibadah dalam hidup
bermasyarakat. Buah dari ibadah adalah tercermin dalam bermu’amalah. Syari’ah
dalam bidang mu’amalah ini jauh lebih luas kajiannya, karena meliputi seluruh
aktivitas manusia. Dengan demikian, tidak mungkin menolak syari’ah bagi seorang
muslim yang menerima Islam sebagai agama.
Jadi dalam
aspek ibadah, hal pokok yang diwajibkan itu termuat dalam rukun lslam, yaitu
shalat, zakat, puasa dan hajji. Kewajiban ini menduduki posisi yang paling
tinggi dalam al-Qur’an. Shalat merupakan kewajiban pertama yang, diperintahkan
kepada Nabi. Banyak alasan mengapa shalat begitu penting. Shalat merupakan
langkah permulaan dalam mencapai kemajuan rohani. Bahkan shalat disebut mi’raj,
kenaikan rohani yang paling tinggi. Shalat menjauhkan manusia dari kejahatan,
sehingga memungkinkan dapat mencapai kesempurnaan.
Shalat
membantu mewujudkan sifat ketuhanan dalam batin. Terwujudnya sifat ketuhanan
bukan saja mendorong manusia untuk berbuat tanpa pamrih kepada sesamanya, melainkan
pula memungkinkan manusia mencapai derajat rohani dan akhlak yang paling
sempurna. Shalat menghilangkan perbedaan pangkat, warna kulit, dan kebangsaan,
bahkan jauh dari itu alat menggalang persatuan. Hal ini menjadi landasan untuk menghayati
kemajuan peradaban manusia.
Jika kita
telaah ayat permulaan al-Qur’an, shalat dapat memperkembangkan diri sendiri.
Orang yang beriman, mendirikan shalat, dan menjalankan zakat berada pada jalan
yang benar, mereka adalah orang-orang yang mufflihun. Perhatikan QS. Al-Baqarah/2
ayat 3-5:
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$#
ÇÌÈ Å7Î=»tB ÏQöqt
ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ x$Î) ßç7÷ètR
y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ
Artinya : 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4.
yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5]. 5. hanya Engkaulah yang Kami
sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].(Al-Baqoroh
ayat 3-5)
(yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al Qur’aan) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung.
Kata mufflihun
berakar dari falaha artinya sukses dan tercapainya sesuatu yang
diinginkan secara sempurna. Falah itu ada dua macam, pertama bertalian dengan kehidupan
dunia, dan kedua berkaitan dengan kehidupan akhirat; Yang pertama berarti tercapainya
hal-hal yang baik yang membuat kehidupan dunia. Manifestasinya serba kecukupan
dan terhormat. Yang kedua berarti tercapainya kehormatan yang tidak pernah mengenal
kehinaan.
Kedudukan
shalat dalam perkembangan batin manusia begitu penting, hingga pada tiap-tiap adzan
dan iqamah, seruan hayya ‘alal shalah (mari menjalankan
shalat) selalu disusul dengan seruan hayya ‘alal falah (mari menuju falah kemenangan).
Ini menunjukkan bahwa perkembangan diri itu dicapai dengan melalui shalat.
Dalam ayat
lain, sungguh beruntung (aflaha) kaum mukmin yang ,khusyu dalam shalatnya.
Perhatikan QS. al- Mukminun/23 ayat 1-2 :
üNm ÇÊÈ ã@Í\s? É=»tGÅ3ø9$# z`ÏB «!$# ÍÍyèø9$# ÉOÎ=yèø9$# ÇËÈ
Artinya : 1. Haa Miim. 2. diturunkan kitab ini (Al
Quran) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui,(Al-Mu’minun).
Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya.
lman kepada
Allah adalah asas pokok tiap-tiap agama. Tetapi, tujuan agama bukan sekedar mengajarkan
adanya Allah secara teori, melainkan lebih dari itu untuk menanamkan keyakinan
bahwa Allah adalah daya kekuatan bagi kehidupan manusia. Sarana untuk mencapai
tujuan besar tersebut adalah shalat. Wujudkan daya kekuatan dalam batin melalui
shalat. Mohonlah pertolongan dengan jalan sabar dan shalat; sesungguhnya ini
adalah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, yaitu orang yang tahu bahwa
mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya
(QS. Al-Baqarah/2 ayat 45-46).
Perkembangan
daya kemampuan manusia itu tergantung kepada sucinya batin manusia. Sungguh beruntung
orang yang menyucikan hatinya. Shalat sebagai sarana pokok dalam menyucikan
hati. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar (AI-Ankabut/29 ayat 45). Perbuatan baik itu
akan menghapuskan perbuatan buruk (QS.Hud/11 ayat 14).
Shalat dapat
dijalankan dengan sendirian atau berjama’ah. Shalat bisa dijalankan sendirian bermakna
memperkembangkan ruhani pribadi. Tetapi yang dijalankan dengan jama’ah memiliki
makna shalat mengandung tujuan persatuan umat. Dalam shalat hilanglah perbedaan-perbedaan
teknis Seperti jabatan, suku,
kaya-miskin, cantik-biasa, penguasa-rakyat,
dan seterusnya. Semuanya berdampingan karena yang membedakan sesungguhnya adalah
ketaqwaan. Bagi mereka yang mampu berdampingan bersama akan merasakan kebahagiaan.
Bahasa yang
dipakai dalam shalat yaitu bahasa al-Qur’an dan bahasa Arab. Ada orang yang
paham artinya dan ada juga yang tidak. Tetapi, perlu kita sadari bahwa dalam
shalat itu memuat komunikasi kitadengan Allah. Sudah sewajarnya kalau kita akan
mrncurahkan isi hati di hadapan Allah dengan bahasa yang dimengerti. Dalam
shalat diberi keleluasaan untuk membuka isi hati.
Seandainya ada
orang yang tidak mengerti akan arti kalimat yang dibacakan waktu shalat, namun
ia Sadar bahwa ia srdang shalat, ruku dan sujud, maka drngan gerakan itu pun sudah
termasuk komunikasi ia dengan Allah. Artinya, ada yang menggunakan dengan
bahasa verbal, dan ada juga yang menggunakan bahwa tubuh atau isyarat. Namun
yang lebih baik adalah mereka yang mengerti seluruh bacaan shalat. Ini sudah
diatur dalam Islam.
D. Fungsi Syari’ah
Tidak dapat
disangkal bahwa hukum merupakan landasan tatanan berdirinya suatu bangsa. Akan
tetapi hukum jika tidak dipikirkan-implementasinya, hanya akan melahirkan kebekuan.
Dalam hukum perlu memecahkan masalah-masalah zaman yang terus ada dan berganti-ganti
dari waktu ke waktu. Hal ini perlu dipikirkan dan dikerjakan sungguh-sungguh dan
terus-menerus.
Hukum-hukum
Allah jauh lebih efektif untuk mencegah segala bentuk kejahatan yang merajalela.
Di samping itu, bukan hanya mcncegah kejahatan melainkan mengarahkan pada kebaikan.
Berikut ini beberapa
fungsi syari’ah, yaitu:
1.
Menghantarkan manusia sebagai
hamba Allah yang mukhlis
Syari’ah adalah aturan-aturan Allah yang berisi perintah Allah untuk
ditaati dan dilaksanakan, serta aturan-aturan tentang larangan Allah untuk dijauhi
dam dihindarkan. Ketaatan terhadap aturan menunjukkan ketundukan manusia terhadap
Allah dan penghambaan manusia kepada-Nya. Tanpa melaksanakan syari’ah, maka
manusia tidak akan sampai pada posisi sebagai hamba Allah yang baik dan benar.
2.
Menghantarkan manusia sebagai
khalifah Allah
Manusia sebagai wakil Allah harus mengikuti hukum Allah yang diwakilinya.
Kalau melampaui batas bukan lagi wakil. Maka dari itu, syari’ah Islam memberikan
batasan yang jelas dari kebebasan yang dimillki manusia. Dengan demikian, kekhalifahan
manusia diatur dalam tatanan pencapaian kesejahteraan lahir-batin manusia dan terhindar
dari kesesatan Sejalan dengan kehendak Allah.
3.
Menunjukkan kebahagiaan
dunia dan akhirat
Syari’ah Islam mengarahkan manusia pada jalan yang lurus menuju sumber
kebenaran. Dengan syari'ah Islam, manusia dapat mencapai tujuan hidup yang
hakiki. Dengan syari’ah, manusia dapat memilah dan memilih jalan yang akan ditempuhnya
sesuai dengan daya kemampuan sehingga apapun akan dipertanggung jawabkannya sendiri
di hadapan Allah Ta’ala.
E. Syari’ah Islam Dari Masa Ke Masa
Allah pada
mulanya menurunkan berbagai syari’ah kepada nabi-nabi dengan memperhatikan keadaan
berbagai ummat dan zamannya. Tatkala semua itu telah selesai ditangani oleh
nabi-nabi terdahulu, datanglah di akhir mereka penghulu dam penutup dengan membawa
undang-undang yang menyeluruh sampai pada hari kiamat.
Masyarakat
Islam pada zaman terdahulu hidup dengan kehadiran realitas yang menyelami Al-Qur’an
dan perilaku Nabi yang dicontohkan, baik Oleh para sahabat atau generasi pertama
sesudah mereka.
Pada periode
awal generasi shahabat belum ada kodifikasi madzhab fikih. Berbagai interpretasi
syari’ah dan syari’ah itu sendiri belum dikodifikasikan dan dirumuskan dalam
kitab-kitab fikih, tetapi realitasnya benar-benar telah terwujud. Misalnya, cara
masyarakat bertingkah laku sudah diatur demikian rupa.
Secara alamiah
masyarakat Arab dahulu telah mengenal hukum-hukum yang mengatur kehidupan dan
hubungan kemasyarakatan mereka. Akan tetapi, hukum-hukum itu tidak ditetapkan
oleh suatu kekuasaan legislatif seperti yang terjadi sesudah ajaran
Al-Qur’an dan Al-Sunnah Nabi, tetapi merupakan tradisi dan adat istiadat yang sebagian
besarnya diambil dari negara-negara tetangga yang mempunyai hubungan dengan mereka.
Misalnya, Syiria yang menerapkan hukum Romawi sedangkan Irak mempraktekkan
hukum Persia. Bangsa Arab, mengambil dari Yastrib yang kemudian dikenal dengan Madinah
tempat tinggal masyarakat Yahudi yang menganut hukum-hukum dari syari’ah Nabi
Musa a.s.
Selanjutnya
dari sejarah bangsa-bangsa, kita mengetahui bahwa setiap masyarakat betapapun tingkat
kebudayaan dan intelektualnya, mempunyai kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
perdagangan dan transaksi-transaksi financial, mengatur masalah-masalah perseorangan
dalam membangun keluarga seperti perkawinan dan lain-lain, mengatur tindak pidana
kejahatan dengan menetapkan hukuman yang dapat membuat jera pelakunya dan yang mengatur
masalah-masalah kehidupan yang lain.
Masyarakat
Arab di semenanjung Arabia, tidak dikecualikan dari kenyataan di atas yang menjadi
landasan kehidupan pribadi, bangsa, masyarakat dan kebudayaan manusia.
Dari sejarah
kita mengetahui bahwa bangsa Arab di zaman Jahiliyah mengenal banyak hukum yang
menjadi landasan masyarakat mereka yang meliputi berbagai bidang, yang pada saat
berikutnya ada yang direvisi Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Rasulullah
Muhammad Saw. Rasulullah menenetapkan berlakunya tidak sedikit dari hukum mereka
itu yang telah mengkristal menjadi tradisi yang mereka anut. Islam tidak mengganti
semua tradisi bangsa Arab secara radikal. Karena itu, kita dapat mengatakan
bahwa Islam datang pada satu masyarakat yang telah memiliki tradisi dan
hukum-hukum.
Masyarakat
Arab mengenal banyak macam transaksi seperti jual-beli, gadai, dan sewa menyewa.
Di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, Islam menetapkan tidak scdikit macam transaksi
itu yang dipandang baik untuk dilestarikan dan seraya membuang yang tidak baik.Ukuran
tidak baik itu adalah dampak dari hukum tersebut pada kepentingan bersama dan kemaslahatan
ummat secara keseluruhan dengan tidak memihak pada orang kaya maupun yang
miskin.
Misalnya, riba
adalah salah satu transaksi yang dilarang dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul karena mengandung unsur mengambil harta orang lain dengan jalan bathil.
Begitu pula Islam melarang beberapa hubungan jual-beli yang
menyebabkan penipuan dan persengketaan.
Masyarakat
Arab juga telah mengenal sewa menyewa dan bagi hasil (mudbarabab).
Akad-akad ini dilestarikan oleh Islam karena dampaknya positif dan dibutuhkan dalam
kehidupan praktis. Kemudian fikih di masa-masa berikutnya membuat kaidah, syarat
dan batas-batasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga secara bersama-sama kemaslahatan
kedua belah pihak yang mengadakan transaksi dalam batas-batas yang telah ditentukan
Allah dan Rasul-Nya.
Perkembangan selanjutnya,
muncul peluang makin besar terjadinya interpretasi yang beragam terhadap hukum
Allah. Kosekeunsinya perlu mendasarkan pada sumber pokok kembar Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang secara berangsur-angsur para fuqaba (ahli hukum) mulai menggali
metode pengumpulan
prinsip-prinsip tertentu melalui
ijtihad seperti yang dikenal dalam madzhab fikih.
Jadi, sejak
dahulu umat manusia membutuhkan syari’ah. Tanpa syari’ah, kehidupan manusia
akan kacau karena jika sepenuhnya hukum diserahkan pada kebebasan akal manusia akan
terjadi inkonsistensi (kerancuan), karena hasil akal yang satu dengan
lainnya bisa berbeda secara tajam. Akan tetapi dengan panduan syari’ah itu
manusia dapat menemukan titik temu persamaannya. Berdasarkan hal itu, hingga sekarang
dan akan datang jelas kebutuhan manusia terhadap syari’at Islam untuk mengatur
pola hidup dan kehidupan yang harmonis dalam segala bidang (shalat, zakat,
puasa, hajji, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan lain-lain) dan
diridhai Allah Ta’ala. Hal ini dijelaskan dalam syari’ah Islam.
[1]
M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm.5
[2]
Azyumardi Azra, dkk, Buku Teks: Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi
Umum, Depag RI, Jakarta, 2002, halm.167
[3]
Muhammad Yusuf Musa, Islam: Suatu Kajian Komperhensif, Rajawali Press,
Jakarta, 1988, hlm.131
[4]
M.Ali Hasan, Op.Cit.,
[5]
Syeed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda
Muslim, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 56
[6]
Yusuf Al-Qardhawi, Karakteristik
Islam: Kajian Analitik, Risalah Gusti, Surabaya, 1996, hlm. 137
[7]
Lihat A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Sebuah Pengantar, Orba Sakti, Bandung,
1993, hlm.25
[8]
Lihat M.Ali Hasan, Op.Cit., hlm.43-44
[9]
Seyyed Hoesin Nasr, Op.Cit., hlm. 58
No comments:
Post a Comment