a.
Ilmu Gharib Al-Qur'an
1)
Pengertian
Gharib Al-Qur’an
Lafadz
gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadz gharibah yang
berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya. Sedangkan menurut
istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus
dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari
segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika
dihubungkan dengan al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an adalah
ayat-ayat al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat
dimengerti maknanya, seperti lafadz أَبَّا dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa ((وَفَاكِهَةً
وَّ أَبَّا .[1]
2)
Macam-macam
Bacaan Gharib dalam al-Qur’an
Di dalam al-qur’an banyak dijumpai
bacaan gharib, diantara macam-macamnya adalah sebagai berikut:
a)
Saktah
Saktah menurut bahasa artinya diam,
tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah yaitu berhenti
sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Di
dalam Al-Qur'an ada 4 bacaan saktah, yaitu: (1) Surat al-Kahfi: ayat 1-2, (2)
Surat Yasin: ayat 52, (3) Surat al-Qiyamah: ayat 27, dan (4) Surat al-Muthaffifin:
ayat 14.[2]
b)
Imalah
Imalah artinya memiringkan bunyi
fathah pada kasroh, dan dari huruf alif ke ya’ (Kecenderungan fathah kepada
kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah hanya terdapat 1 lafadz dalam
Al-Qur'an, yakni surat Huud ayat 41, Juz 12.[3]
c)
Isymam
Isymam yaitu isyarah dlommah di
tengah-tengah dengung. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya ada 1, yaitu di surat
Yusuf ayat 11, Juz 12.[4]
d) Badal
(Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya
mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal disini adalah mengganti huruf
hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya.[5]
Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat
Hafs yaitu[6] :
1.
Badal ء dengan ي (فِي السَّمٰوٰتِ
ائْتُوْنِيْ)
Yaitu mengganti hamzah mati dengan
ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat mengganti hamzah qatha’ yang tidak
menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif
layyinah (ى).
Cara membacanya, yaitu apabila
seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ
ۖ) maka huruf ta’ mati dan
hamzah mati diganti ya’ (فِى ٱلسَّمٰوٰتْ ۖ اِيْتُونِى ) sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.
2.
Badal ص dengan س (وَيَبْصُۜطُ dan
بَصْۜطَةً )
Yaitu mengganti shad dengan siin,
sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim mengganti ص dengan س pada lafadz وَيَبْصُۜطُ
dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz بَصْۜطَةً dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab
digantinya huruf shad dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu بَسَطَ – يَبْسُطُ.
e)
Ba’ di idgham ke
Mim
Yaitu huruf Ba’ Mati (disukun)
ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Dalam ilmu tajwid, bacaan
ini termasuk bacaan Idgham Mutaqoribain.
f)
Naql
Naql menurut bahasa berasal dari
lafadz نَقَلَ – يَنْقِلُ – نَقْلًا yang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Yaitu lam alif (لا) dibaca kasroh lam-nya ,
sedangkan kata ismun (اِسْمٌ) hamzah-nya tidak dibaca.
Alasan dibaca naql pada lafadz الْاِسْمُ adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya
atau membacanya.[7]
h)
Tiga model
bacaan
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang
terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut adalah[8] :
1)
Bila washal,
Ra’-nya dibaca pendek keduanya.
2)
Bila waqaf pada
kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.
3)
Bila Waqaf pada
kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua
dibaca sukun (mati).
i)
Tashiil
Tashil artinya lunak, yakni hamzah
pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca
tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif.[9]
Alasan lafadz ءَاَعْجَمِىٌّ dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah
qatha’ bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa
berat melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).[10]
[1] Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.
267.
[2] Koordinator
Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode Qiraati (Pasuruan: Perc.
Plassa 9 Tejowangi, 2005), h. 10.
[4] Ibid,
h.8
[5] Ibid,
h. 4
[6] Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 23-25.
[7] Ibid,
h. 29-30.
[8] Ibid,
h. 14
[9] Ibid, h. 12
[10] Ar-Raghib
al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 28.
Trmksh. Sangat bermanfaat.
ReplyDeleteoke thanks
ReplyDeleteTerima kasih ilmunya
ReplyDelete